Friday, March 3, 2017

Keadilan dan Kesetaraan Gender

Keadilan dan Kesetaraan Gender

I.             Pendahuluan
Dalam banyak kebudayaan, kaum wanita dianggap lebih rendah dan dihina oleh kaum pria. Mereka sering diperlakukan tidak lebih dari pada mainan dan objek seks, pengurus rumah tangga,dan tidak mampu diajak berdiskusi mengenai hal yang bersifat rasional. Bakat-bakat mereka tidak pernah dihargai, kebebasan mereka dibatasi sedang pelayanan mereka dibeberapa bidang tertentu ditolak dengan keras. [1]
Sejarah penindasan terhadap kaum wanita sudah berlangsung begitu lama sehingga dirasakan sudah tiba saatnya masyarakat yang didominasi oleh kaum pria itu harus mengoreksi dirinya, yaitu pertama, pentingnya mendengarkan secara cermat pada apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh feminisme. Kedua, mendengarkan dan meneliti secara cermat apa yang dikatakan oleh Alkitab. Karena dengan demikian kita terhindar dari bahaya, baik mengingkari Alkitab demi itikad untuk bisa berfikiran maju. [2]

II.          Terminologi
Gender adalah jenis kelamin.[3] Gender adalah pembedaan kata sesuai dengan kelaminnya.[4] Gender bersifat non-kodrati, tidak alami dan dibuat atau ditentukan oleh masyarakat.

III.       Kekerasan terhadap gender
Berbicara tentang kekerasan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Sejak permulaan manusia di bumi tindak kekerasan sudah ada. Hal ini dapat kita pahami sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (bnd. Kej. 3:1-24), manusia cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap sesamanya misalnya pembunuhan ynag dilakukan Kain terhadap adiknya Habel (kej.4:1-6). Berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam Perjanjian Lama terlihat ketimpangan gender yaitu apabila seorang istri tidak memuaskan suaminya maka si suami berhak menceraikan istrinya tersebut (Ul. 21:14-15). Hal yang sama , bandingkan tokoh Perjanjian Lama : Abraham, Salomo, Daud, Yakub, yaitu terjadinya perkawinan poligami, sedangkan bagi perempuan poliandri tidak diperkenankan.
Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan:
·         Faktor agama
      Adanya pendapat yang memahami bahwa  agama dan ajarannya adalah suci, tetapi karena manusia terbatas dalam pikiran dan perbuatan, maka muncullah penyimpangan-penyimpangan, ketimpangan tersebut menghasilkan tindakan-tindakan serta perlakuan yang tidak adil dalam masalah gender.
·         Faktor ekonomi
      Dalam kemajuan zaman banyak bentuk pengeksploitasian terhadap kaum perempuan,dimana tubuh wanita dijadikan objek manipulasi realitas, dan untuk membangkitkan gairah konsumen terhadap barang tertentu. Dalam masalah rumah tangga diman si suami menjadi tulang punggung perekonomian sering menjadi permasalahan bahwa dalam diri si suami merasa dirinya superior terhadap istrinya karena pekerjaan si suami tersebut menghasilkan upah untuk menghidupi keluarganya.
·         Faktor budaya
      Pada umumnya masyarakat Indonesia didominasi dengan sistem pattraikhatsehingga mengakibatkan adanya perbedaan hak dan peran laki-laki dan perempuansehingga banyak menimbulkan ketimpangan dan kekerasan terhadap kaum perempuan.           [5]

IV.       Bangkitnya gerakan feminis
Kita mengetahui rendahnya derajat kaum wanita dalam anggapan orang-orang pada zaman dahulu kala. Plato yang percaya bahwa jiwa terperangkap dalam tubuh dan kelepasannya dari tubuh hanya untuk terperangkap lagi dalam suatu reinkarnasi. Ia juga melanjutkan uraiannya bahwa nasib malang yang bisa menimpa laki-laki adalah apabila ia berinkarnasi sebagai wanita.Yosefus mengemukakan pendapatnya  bahwa wanita adalah inferior dalam segala hal dibandingkan pria. Tertulianus, seorang bapa gereja mengemukakan bahwa, wanita adalah pintu masuk iblis; wanita adalah perusak materai pohon (yang terlarang) itu; wanita adalah pelanggar utama hukum ilahi; wanita adalah pembujuk pria; wanita begitu gampang citra Allah yaitu pria. Akibat yang akan diterima adalah kematian, bahkan anak Allah pun harus menderita kematian.
Bahasa yang menjelek-jelekkan kedudukan wanita tersebut tidak layak keluar dari “pena” seorang pengikut Yesus, karena justru Dialah pangkal pembebasan wanita zaman ini.[6]
Setidaknya selama abad ini, kedudukan dan peranan wanita sudah mengalami perubahan yang sangat cepat. Mereka telah memperoleh hak memilih, berkat agitasi kaum “suffragette” (wanita-wanita pejuang bagi kesamaan hak suara) yang gigih. Wanita berhak memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukannya dan diperbolehkan untuk menempati setiap jabatan, profesi, dan kedudukan dalam pemerintahan.Gerakan feminisme mendapat momentum, khususnya pada tahun 60-an. Germaine Greer menyerukan suatu revolusi. Dalam bukunya “The Female Eunuch”, ada suatu bab yang berjudul “Mitos kelas menengah tentang cinta dan perkawinan”, di situ ia menyarankan agar wanita jangan terjebak dalam ikatan-ikatan yang ditetapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan bila terjebak dalam ikatan itu supaya jangan ragu-ragu untuk memutuskannya. Jika merasa tidak betah, kaum wanita adalah proletariat asli mayoritas yang benar-benar ditindas; mereka harus berontak dan melepaskan diri dari kuknya. [7]

V.          Perkembangan peranan perempuan dalam masyarakat
Dalam masyarakat tradisional peranan perempuan ditentukan hanya untuk melahirkan, melayani suami, dan melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap kurang penting. Walaupun seorang perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi namun masih kuat anggapan bahwa peranan perempuan itu adalah di dapur dan mendidik anak-anak, karena itu adalah tugas utama kaum perempuan. Kini muncul pertanyaan-pertanyaan yang menggugah asumsi-asumsi lama. Apakah harus pria yang mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah? Tidak bolehkah terjadi pria tinggal di rumah (karena tidak mendapatkan pekerjaan) dan perempuan yang mencari nafkah? Apakah mendidik anak adalah tugas seorang wanita?
Adalah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan perubahan peranan perempuan dan sikap terhadap kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin itu sudah tidak benar lagi. Kita bisa melihat kenyataan bahwa banyaknya kaum perempuan menduduki fungsi pimpinan di lembaga, perusahaan, dan negara. Orang berkuasa bukan karena fisiknya yang kuat, melainkan karena kemampuan, intelektual dan fungsinya.[8]

VI.       Keadilan dan kesetaraan gender
Harus kita sadari bahwa secara martabat, harkat dan hak azasi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi secara kodrati tentu saja ada perbedaannya. Ada kemampuan yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Namun demikian perbedaan itu bukan alasan untuk lebih mengutamakan harkat dan martabat manusia berdasarkan perbedaan gender atau jenis kelamin.
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus merupakan suatu perjuangan karena sampai saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan untuk merealisasikannya. Misalnya hal itu datang dari kaum laki-laki pendukung fanatic patriakhal. Mereka memakai teks-teks Alkitab bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan sesuai dengan kodrat kemanusiaan (band. Kej.2:21-22; 1 Kor.14:34-35. Gereja harus turut memperjuangkan kesetaraan gender, agar panggilan untuk melayani sama-sama terbuka baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kami semua adalah satu di dalam Kristus” (Gal.3:28).[9]

VII.    Teologi feminist
Gerakan feminisme terjadi pada bidang social dan politik yang dimulai pada abad ke-15, sejak abad pencerahan di Perancis, adalah upaya menumbuhkan kesetaraan gender, agar harkat dan martabat laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakanan. Fungsi dan peranan manusia dalam bidang ekonomi, social, politik dan kehidupan keberagamaan tidak lagi ditentukan hanya oleh karena berdasarkan laki-laki atau perempuan, tetapi karena seseorang itu berkualitas dan mampu mengemban tugas secara fungsional.
Gerakan feminisme ini disambut baik dikalangan gereja dan teolog, sehingga lahirlah teologi feminis yang merupakan teologi pembebasan. Para teolog feminis memahami bahwa cerita-cerita Alkitab sangat tidak netral karena berpihak pada sistem patriakhal yang justru mengakibatkan penindasan dan pelecehan martabat perempuan. Ada tiga teolog feminis yang melihat betapa pentingnya sumbangan teologi feminis dalam penyetaraan dan keadilan gender.[10]
·         Phyllis Trible
Ia mengkritik dan menggugat cerita-cerita Alkitab khususnya PL karena sebagian isinya merupakan “texts of terror” bagi orang yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan harkat kemanusiaan. Para penulis Alkitab seolah-olah tidak berupaya untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang amoral. Pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dibenarkan dan diangkat sebagai cerita untuk mengangkat keutamaan laki-laki (Kej.19:8; Hak.19; Ul.22:13-21; Ul.24:1-4). Sementara laki-laki dilahirkan lebih kudus, lebih layak dan lebih berharga dari pada perempuan (band. Im.15; 27:1-7). Menurut Trible cerita Alkitab tersebut harus diluruskan melalui makna dan motif naratif dari Alkitab itu sendiri.
·         Elizabeth Schuessler Florenza
Dia mengangkat fakta bahwa orang-orang percaya kepada Yesus Kristus bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Peranan dan kesetiaan para perempuan kepada Yesus tidak berada di bawah kesetiaan para murid laki-laki. Peranan dan kesetiaan para perempuan digeser sedemikian rupa demi mengutamakan figur laki-laki. Banyak kisah tentang peranan perempuan  yang tidak diceritakan sesuai dengan maknanya (Luk.8:1-3), mengingat jiwa androcentrik yang patriakhal yang turut mempengaruhi mereka pada waktu itu.
·         Salie McFague
Menurut McFague dominasi dan sikap superior laki-laki terhadap perempuan dimiliki oleh setiap suku bangsa, baik yang nomaden maupun yang modern, sehingga muncul di dalam perumusan pemahaman keagamaan seperti pengakuan iman dan pengenalan tentang Allah misalnya merumuskan hakekat Allah secara anthropomorfis. Menurut McFague tidak ada salahnya menyebut Allah sebagai Bapa apabila sebutan tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi dan perbuatan Allah terhadap manusia. Kesalahan pemahaman terjadi ketika sebutan Bapa itu dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap keberadaan Allah, sehingga Allah itu seolah laki-laki dan berjenis kelamin. Dia mengusulkan agar sebutan Bapa diganti dengan sebutan netral, misalnya God as mother; God as lover; God as friend. Gagasan ini dapat diterima dengan alasan, pertama, gambar-gambar fungsional Allah dalam Alkitab bukan hanya sebagai Bapa, Allah juga disebut seperti perempuan (Yes.42:14; Ul.32:18); seperti ibu (Bil.11:11-13; Yes. 49:15); seperti bidan (Mzr.22:10; Yes.66:7-13). Kedua, implikasi menggambarkan fungsi Allah yang feminim dapat merealisasikan penyetaraan gender sekaligus menghilangkan legitimasi doktrin dan institusi keagamaan terhadap perbedaan gender yang diskriminatif.

VIII. Kesimpulan
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus menjadi suatu perjuangan karena sampai sekarang ini masih menghadapi tantangan dan kesulitan untuk merealisasikannya. Kesulitan melaksanakan keadilan dan kesetaraan gender datang dari kaum pria dan masyarakat yang masih menganut sistem patriakal. Namun perlu disadari pembedaan harkat dan martabat manusia berdasarkan gender bukanlah isi firman Tuhan, melainkan muncul dari paham patriakal yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada satu sisi status social dan harkat perempuan ditempatkan setara dengan laki-laki. Tetapi pada sisi lain pria dan wanita dibedakan secara gender.
Tafsir teologilah yang berhak memberi jawaban mengapa Paulus meneruskan tradisi patriakal sehingga mengatakan “istri harus tunduk kepada suami sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus” (Efesus 5:22-24) dan mengatakan bahwa “perempuan tidak diijikan mengajar dan memerintah laki-laki” (2 Tim.2:12). Sementara itu haruslah pula dipahami bahwa ungkapan “suami berkuasa atas istri” adalah sebagai hukuman atas keberdosaan Hawa (Kej.3:26). Ketaatan kepada Kristus dalah merupakan wujud kemurid-an dan kesetiaan kepadaNya, yang dengan sendirinya akan menjadi berkat dan kebahagiaan bagi manusia. Pemahaman demikian akan mewarnai kesetiaan istri dan suami secara timbal balik. Kesetaraan harkat dan martabat manusia akan terwujud di dalam Kristus Yesus. Oleh karena itu tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan pembeda-bedaan harkat dan martabat kemanusiaan. Setiap pembedaan apalagi pelecehan martabat manusia baik laki-laki maupun wanita adalah suatu pelanggaran terhadap ciptaan dan kehendak Allah sendiri.



[1] John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: YKBK/OMF, 2005), hlm.333.
[2] Ibid, hlm. 334
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: GRAMEDIA, 2000), hlm. 265
[4] Henk Ten Napel, Kamus Teologi Inggris-indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 147
[5] Pdt. Jahenos Saragih, Suara Hati Anak Bangsa dengan Solusinya, (Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2006), hlm. 107-117.
[6] John Stott, Op.cit,  hlm.334-335.
[7] Ibid, hlm. 336.
[8] Pdt. Dr. Einar M. Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 77-80.
[9] Pdt. D.Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA, 2007), hlm. 311-312.
[10] Ibid., hlm. 307-310.

No comments:

Post a Comment