Allah Berkuasa
atas Orang Beriman
(Ayub 2: 10; 2
Kor. 1: 4-5).
I.
Pendahuluan
Pada saat ini, banyak sekali
kita melihat bahkan merasakan penderitaan dalam hidup ini. Adapun yang menjadi
penyebab dari penderitaan ini adalah karena ekonomi, sosial, politik dan yang
lainnya. Penderitaan ini pun beraneka ragam seperti kesusahan hidup, tekanan
perasaan, penyakit ataupun ketertinggalan perkembangan zaman dan yang lain. Dan
dengan penderitaan ini, banyak sekali di antara kita yang sering menyalahkan
Tuhan sebagai penyebab semuanya, yang sebenarnya adalah salah sebab Allah telah
memilih dan menetapkan jalan yang terbaik bagi hidup kita dan segala sesuatunya
akan indah pada waktunya.
Namun, kita sering ‘kalah’
terhadap penderitaan ini sehingga kita hanya dapat menyimpulkan sisi buruk dari
penderitaan yang kita alami itu dan tidak dapat memiliki harapan akan hari
esok. Dan pada akhirnya menyalahkan Allah atas penderitaan yang kita alami
tersebut.
Dan dalam sajian ini, penyaji
mencoba membahas mengenai bagaimana Allah berkuasa atas hidup orang-orang
pilihanNya dan sikap dari umatNya dalam menjalani apa yang menjadi
Kemahakuasaan Allah. Dalam sajian ini, penyaji akan memfokuskan dua tokoh dalam
Alkitab yang dengan sabar menghadapi penderitaan yang diberikan Allah kepada
mereka, yang pada intinya adalah bahwa Allah dengan kemuliaanNya tidak dapat
diselami oleh manusia dan berkuasa atas segalanya yaitu:
1). Ayub yang terkenal dengan
kekayaannya baik materi maupun iman, dan keteguhan dalam penderitaan, dan
2). Paulus yang terkenal semula adalah seorang
pembunuh pengikut Kristus yang kemudian bertobat dan menjadi pelayan Firman
kepada banyak umat yaitu orang Kafir (non Yahudi).
II.
Kitab Ayub
Latar Belakang Kitab Ayub
Kitab Ayub adalah salah satu
kitab sastra hikmat yang menuturkan suatu masalah yang sangat pelik yaitu
seorang tokoh yang kaya dalam hal materi maupun iman di tengah-tengah
masyarakatnya kemudian tiba-tiba jatuh miskin, sakit dan dijauhi oleh
masyarakatnya oleh karena keteguhan hatinya dalam menjalani penderitaan yang
sangat berat, tidak masuk akal dan mungkin tak bisa dilewati oleh siapapun jika
telah mengalami penderitaan seberat itu.
Menurut para ahli, Kitab Ayub
ini adalah suatu prosa kuno dari bagian syair yang kemudian menjadi syair yang
sangat indah.[1]
Ayub adalah secara dramatis tentang seorang yang baik dimana ia kehilangan segalanya
dan diuji dengan keras untuk menemukan Allah dalam penderitaannya. Kitab Ayub
diperkirakan ditulis setelah masa pembuangan di Babilonia.[2]
Selain itu, nama Ayub (Ibr. Iyyob) yang ditafsirkan oleh Albright
sebagai “Dimanakah Bapa (ku)?”, terdapat dalam surat-surat Amarna (kira-kira
1350 sM) dan dalam naskah-naskah kutukan dari Mesir (kira-kira 2000 sM). Dengan
kedua alasan ini, Kitab Ayub diperkirakan dicatat oleh seseorang yang
benar-benar hidup pada zaman kuno. Namun tidak diketahui apakah cerita itu
berdasarkan dengan sejarah yang benar-benar terjadi pada zaman itu atau tidak.[3]
Menurut John Drane, Kitab Ayub
terbagi lagi menjadi lima bagian besar, yaitu:
1. Ayub diuji oleh Iblis dengan didatangkannya
bencana (psl. 1-2),
2. Pembicaraan antara Ayub dan ketiga
sahabatnya (psl 3-31),
·
Keluh
kesah Ayub pada Allah (psl.3)
·
Pertanyaan
Ayub kepada Allah (4-14)
·
Dapatkah
orang jahat akan makmur? (psl. 15-21)
·
Ayub
disalahkan oleh sahabat-sahabatnya, menuntut ketidakbersalahan Ayub di hadapan
Allah.
3. Pernyataan Elihu yang salah dengan
menyangkal bahwa Allah tidak peduli (psl 32-37),
4. Kebaikan Allah yang memulihkan (psl
38:1-42:6),
·
Allah
dalam penciptaan (psl. 38-41)
·
Respon
Ayub (psl. 42:1-6)
5. Ayub kembali diberkati Allah (psl.
42:7-16).
Dengan kata lain, Kitab Ayub
ini adalah sebuah kitab pengajaran hikmat dalam menjalani penderitaan dan
berkat Allah setelah menjalani penderitaan itu. Selain itu, kitab ini juga
diperkirakan berasal dari aliran Deutronomist
karena kitab ini menekankan ketaatan kepada Allah.[4]
Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik
Kitab Ayub dimulai dari
peristiwa yang terjadi di bumi yaitu di Tanah Us (namun tidak diketahui dimana
letaknya) (psl. 1:1-5). Pikiran modern cenderung menganggapnya di perbatasan
Edom, dengan alasan beberapa petunjuk dalam kitab itu dianggap berhubungan
dengan Edom; tapi tradisi yang menempatkannya di Haran (Basan), jauh lebih
mungkin.[5]
Pada kitab ini, memfokuskan
seorang tokoh yang amat sangat kaya pada zamannya, ayah dari tujuh anak
laki-laki dan tiga anak perempuan yang sebenarnya menggambarkan kesempurnaan.
Dalam tradisi Ibrani, kemakmuran biasanya dianggap pertanda dari berkat Allah.
Pada kitab Ulangan 28 digambarkan berkat-berkat bagi orang yang menaati Allah,
dan berbagai kutukan akibat ketidaktaatan. Ayub juga seorang tokoh yang baik
dan saleh, baik di tengah-tengah masyarakatnya maupun keluarganya yang dapat
kita lihat dengan Ayub sebagai imam keluarga, mempersembahkan korban bakaran
untuk menjaga kekudusan keluarganya di hadapan Allah.[6]
Namun, Ayub tidak menganggap bahwa segala harta dan segala apa yang dimilikinya
adalah hanya berkat Allah dan bukan sebagai segala-galanya dalam kehidupannya
yang akan membuat dia jauh dari Allah.[7]
Ayub juga adalah seorang tokoh
yang memiliki kedudukan terhormat di tengah masyarakatnya karena ia memiliki
kedudukan di tengah-tengah orang berhikmat di zamannya dan begitu juga dengan
ketiga sahabatnya yaitu Elifas, Zofar, Bildad dan tak lupa Elihu.[8]
Teologi Kitab Ayub
Kitab Ayub memang adalah satu
dari kitab yang berisikan pengajaran hikmat yang menekankan bagaimana menjalani
penderitaan hidup. Penderitaan hidup ini dimulai dengan adanya pembicaraan
antara si Iblis kepada Allah untuk mencoba mencari kesalahan sekecilpun dari
Ayub yang telah mendapatkan kepercayaan yang penuh dari Allah oleh karena iman
dan kesalehannya.
Walaupun demikian, penderitaan
yang menimpa baik jasmani maupun rohani kepada Ayub, Ayub tetap saja teguh dan
bertekun dalam penderitaannya tersebut walaupun kadang kala Ayub sering
mempertanyakan protes kepada Allah mengenai penderitaan yang diberikan
kepadanya begitu berat.[9]
Walaupun demikian, Ayub tidak
terlalu memikirkan mengenai penderitaan badani yang menimpanya, sedangkan yang
menjadi masalah baginya adalah ketika ia mendapat perlakuan yang tidak baik
dari keluarga, teman-teman sekota, oleh masyarakat, dan akhirnya oleh
teman-temannya sendiri, dimana ia sendiri mengalami goyangan iman dan keteguhan
kepada Allah. Dan oleh karena itu, ia dianggap bahwa ia telah ditinggalkan oleh
Allah. Dengan demikian, yang menjadi dasar masalahnya yang teologis adalah
“Mengapa Allah Tidak Bertindak” sesuai dengan teori dan pengalaman manusia
terdahulu?.[10]
Dengan kata lain, yang menjadi
Teologi Kitab Ayub adalah bahwa Allah dalam kemahakuasaanNya tidak dapat
terselami dan diduga oleh siapapun walaupun orang itu adalah orang yang
beriman, saleh ataupun taat kepada Allah.
Tafsiran Kitab Ayub 2: 10.
Ayat 10:
Di dalam ayat 10, Ayub
menjawab pertanyaan istrinya yang mencobainya dengan mengatakan bahwa “Apakah
kita hanya bisa menerima yang baik saja dari Allah dan apakah kita tidak bisa
menerima yang buruk?”.[11]
Kata אלהם dalam Perjanjian Lama berasal
dari sebutan el yang berarti kekuatan
atau tenaga dan juga digunakan pada manusia dan kata Elohim adalah bentuk jamak dari kata el. Kata Elohim
mengarahkan perhatian bahwa Allah dalam kepenuhanNya tidak akan pernah habis.
Dalam Alkitab, tidak pernah membicarakan keberadaan Allah terlepas dari
sifat-sifatNya, karena Allah adalah Apa yang Ia sendiri nyatakan tentang
diriNya.[12]
Allah memiliki salah satu
sifat yaitu Dia adalah yang “Mahakuasa”, artinya adalah bahwa Dia adalah
sesuatu yang berbeda dari kuasa yang ada pada manusia. Bagi Allah,
Kemahakuasaan itu adalah suatu sifatNya yang memiliki daya cipta, suatu ‘daya
kemampuan’, dan menciptakan segenap karya ciptaan yang ada dari yang tiada. Dan
dalam ihwalNya, sifatNya tetap berdaya rasuk, tidak terbatas dan tak terhingga
bagi siapapun dan apapun, termasuk Ayub sendiri.[13]
Dalam kitab Ayub ini dikatakan
bahwa Ayub adalah seseorang yang tak bersalah, bercela maupun munafik,
melainkan dia adalah seorang yang takut dan taat akan Allah. Namun, oleh karena
adanya pembicaraan antara Iblis kepada Allah untuk mencobai keteguhan iman dari
Ayub, Iblis meminta izin kepada Allah agar dapat menguji iman Ayub tersebut
walaupun sebenarnya Iblis sudah mengetahui bahwa Ayub tidak bersalah
sedikitpun.[14]
Setelah pembicaraan itu, lalu
Iblis segera menguji iman dan kesalehan Ayub kepada Allah dengan mendatangkan
berbagai bencana yaitu kehilangan ternak dan anak-anaknya (1: 14-19) serta
penyakit kulit (2: 4-8) dan yang paling berat adalah olokan atau celaan kepada
Ayub oleh keluarganya, masyarakatnya, dan sahabat-sahabat dekatnya, dimana
sangat berpengaruh iman Ayub kepada Allah.
Namun, yang paling berat
adalah celaan dari isterinya sendiri yaitu “Masih bertekunkanh engkau dalam
kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9). Hal ini didasarkan bahwa
isterinya menganggap bahwa Allah tidak adil pada umatNya dengan menjadikan Ayub
tiba-tiba jatuh miskin, kehilangan anak dan penyakit badani yang tak dapat
disembuhkan serta sekarat.[15]
Namun Ayub membela Allah dan
bertekun dalam imannya dengan memperingatkan perkataan dari isterinya untuk
mengutuki Allah, dengan menjawab, ‘Apakah kita hanya bisa menerima apa yang
baik saja dari Allah sedangkan yang buruk tidak’. Ayub memaklumi bahwa cacian
isterinya itu adalah yang berdasarkan sesuai yang terjadi pada keluarga mereka
dimana isterinya beranggapan bahwa hanya Allah yang melakukan hal itu kepada
mereka. Bagi Ayub, mengutuki Allah adalah suatu perbuatan dosa di hadapan
KemahakuasaanNya. Dengan peringatan dari Ayub ini, Ayub digambarkan sebagai
seseorang yang pasrah, tekun dan beriman kepada Allah terhadap segala apa yang
terjadi atas dirinya.
Walaupun dia sebagai seseorang
yang pasrah, tekun dan beriman kepada Allah, Ayub juga disebutkan sebagai bukan
seorang yang pasrah, tekun dan beriman sepenuhnya kepada Allah dimana ia
menyatakan keluh kesahnya dan permintaannya agar mati saja (3:1-26), bahkan
protesnya kepada Allah akibat mendengar perkataan sahabatnya, Bildad mengenai
kebinasaan orang fasik.[16]
Namun, yang menjadi inti dari ayat 10 ini adalah bahwa Ayub mengakui bahwa
hanya Allah saja yang memiliki dan memberikan hikmat dan keteguhan kepadanya
dalam menjalani penderitaannya.
III.
Kitab 2 Korintus
Latar Belakang Kitab 2 Korintus
Surat 2 Korintus adalah bagian
dari surat-menyurat Paulus dengan orang-orang Kristen di Korintus yang berhasil
dilestarikan. Bahkan tanpa pengetahuan yang pasti tentang rangkaian
peristiwa-peristiwannya tentang kunjungan, pesan-pesan dan surat-suratnya, kita
mengetahui bahwa surat 2 Korintus bukanlah surat kedua yang ditulis Paulus
kepada jemaat Korintus. Dan tanpa rekonstruksi historis apapun surat ini
memberikan kita pemahaman-pemahaman yang mendalam tentang pemikiran rasul
tersebut. Surat 2 Korintus juga adalah pernyataan klasik dalam Perjanjian Baru
mengenai kerasulan. Disinilah, dimana kemanusiaan Paulus tampak menonjol,
tuntutan-tuntutan akan membawa kewibawaan ilahi paling jelas disuarakan.[17]
Oleh karena surat ini jelas
ditulis di Makedonia, dimana Paulus bertemu dengan Titus (2:13). Karena orang
Makedonia diberitahu bahwa orang Korintus telah siap dengan sumbangan mereka
untuk Yerusalem ‘setahun yang lalu’ (8:10; 9:2) dan karena setelah 3 bulan di
Akhaya, Paulus meninggalkan Makedonia paling lambat menjelang April (bnd. Kis
20:3, 6), dan dapat disimpulkan bahwa Surat 2 Korintus ini ditulis pada musim
gugur dari tahun setelah tahun dimana 1 Korintus ditulis.[18]
Adapun yang menjadi kerangka
dari Surat 2 Korintus ini adalah sebagai berikut:[19]
Tema :
Pelayanan yang dimateraikan oleh Kristus, adalah kuasa illahi yang bekerja
dalam kelemahan manusiawi.
Pengantar :
Paulus dan Timotius mengirimkan salam kepada orang-orang kudus di Akhaya.
Terpujilah Allah! Ia selalui menghibur kita sehingga kita dapat menghibur orang
lain (1:1-11),
1. Menyembuhkan kepedihan dari masa lalu
(psl. 1:12-2:13),
2. Kesanggupan dan keyakinan akan pelayanan
rasuli (psl. 2:14-5:21),
3. Persekutuan dengan Paulus : Imbauan dan
Penegasan (psl. 6:1-7:16),
4. Pengumpulan Persembahan untuk Yerusalem
(psl. 8:1-9:15),
5. Pembelaan Paulus akan kewibawaan
Kerasulannya (psl. 10:1-13:10), dan
6. Kesimpulan (psl. 13:11-13).
Akan tetapi yang menjadi
tujuan Paulus mengirimkan Surat 2 Korintus ini adalah membela kerasulannya, dan
mengadakan pengumpulan persembahan untuk pembangunan Bait Suci di Yerusalem.
Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik
Korintus adalah salah satu
kota di Yunani yaitu terkenal sebagai kota pelabuhan, kota industri dan pusat
perdagangan yaitu berada di ujung barat Isthmus yakni antara Yunani pusat dan
Peloponesus dan melintasi Isthmus. Kemudian oleh Kaisar Agustus menjadikannya
ibukota provinsi baru, yaitu Akhaya.[20]
Pada masa ini, terjadi huru hara di kota akibat Demetrius sehingga mengancam
diri Paulus dan memaksa Paulus untuk bersembunyi di Troas.
Setelah itu, untuk memantau
perkembangan situasi Kota Korintus, maka Paulus mengutus Titus namun Titus
tidak datang untuk memberikan laporan perkembangan, dan hal inilah yang
menjadikan Paulus menjadi kecewa, kuatir dan tubuhnya sakit. Dan hal inilah
yang membuat seakan-akan Paulus merasa tidak kuat menahan segala ketegangan dan
kecemasan itu.[21]
Dan karena Paulus hampir tidak
tahan lagi menanggung kecemasan hatinya di Troas, lalu ia berangkat ke
Makedonia untuk menjumpai Titus di sana yang kemudian Paulus mendapatkan kabar
penghiburan dari Titus dimana orang-orang Korintus telah melakukan perintahnya
dalam surat pertamanya kepada masyarakat Korintus. Walaupun pada akhirnya
Paulus mengetahui bahwa Paulus telah diserang oleh pesuruh-pesuruh Yahudi dengan
menghina kerasulannya, ketakutan, kebimbangan dan ketidaksungguhan Paulus dalam
memberitakan Firman Allah.[22]
Tafsiran 2 Korintus 1: 4-5
Ayat 4-5
Dalam Perjanjian Baru, sebutan
Allah dipakai dalam pengertian yang khas dan sangat pribadi yaitu Kristus (kurios). Akan tetapi ada hubungan yang
unik dan tidak dapat dibagikan kepada makhluk apapun dimana Allah adalah
BapaNya melalui kelahiranNya yang kekal. Dalam sifatNya juga ada suatu sifat
bahwa Allah tidak berubah, artinya adalah bahwa Ia tidak memiliki perubahan
apapun juga dalam diriNya dalam kesempurnaanNya.[23]
Di ayat 4 dan 5 ini dikatakan
bahwa Paulus mengalami tantangan yang sangat berat yaitu tuduhan mengenai
kerasulannya oleh pesuruh-pesuruh Yahudi yang membuat dia menderita. Namun,
dalam penderitaannya Paulus mendapat penghiburan dari Allah. Di dalam bagian
ayat ini, Paulus juga menguraikan penderitaan sebagai ikut mendapat bagian
berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Allah. Kesengsaraan Kristus baginya adalah
sesuatu yang unik.[24]
Pada saat pertobatannya, ia
telah diperingatkan akan penderitaan yang akan menghampiri dia dalam
memberitakan Firman Tuhan bagi orang-orang kafir (Kis. 9:15, 16; Kol. 1:24).
Penderitaan yang dimaksud hanyalah disebabkan oleh persekutuan orang Kristen di
Korintus dengan Kristus dan bukan penderitaan yang dikarenakan oleh dosanya
sendiri. Persekutuan yang sama itu menerangkan sebabnya kita dapat turut juga
menerima penghiburan-penghiburan yang melimpah.[25]
Dalam ayat
ini juga, Paulus memuji dan bersyukur kepada Allah atas berkatNya yang
berlimpah-limpah sehingga Paulus dimampukan untuk kembali mempertahankan
kerasulannya dan memberitakan kabar sukacita kepada jemaat Korintus setelah
masa Guru-guru Palsu, yaitu yang merupakan pesuruh-pesuruh Yahudi untuk
menjelek-jelekkan kerasulan dan keberaniannya dalam menghadapi bahaya-bahaya
dari melakukan pemberitaan Firman Tuhan. Penderitaan yang dikatakan dalam ayat
ini adalah penderitaan Paulus dalam bentuk fisik maupun mental sehingga ia
mengetahui dan menyadari bahwa ia tidak dapat berdiri sendiri dan bertahan
tanpa adanya penghiburan dari Allah yaitu penderitaan Kristus yang memiliki
unsur kekudusan untuk menebus dosa semua umat manusia yang percaya padaNya.[26]
Dengan demikian, ayat ini menekankan perlunya kesatuan antar jemaat dalam
menghadapi penderitaan dalam melaksanakan persekutuan dengan Allah.
IV.
Refleksi Teologis
Penderitaan merupakan teman
pergumulan setia setiap orang dan hal ini membutuhkan sikap yang tepat untuk
menghadapinya. Dalam menyingkapi misteri ini, kita perlu bercermin kepada
tokoh-tokoh dalam Alkitab yang sukses memaknai penderitaannya, diantaranya :
Ayub
yang dikenal sebagai orang benar, jujur dan takut akan Allah dan menjauhi
segala kejahatan (Ayb. 1:1-3), dimana Allah sendiri memuji ketaatannya itu.
Namun oleh karena adanya pembicaraan antara Iblis kepada Allah, maka Allah
mengizinkan Iblis untuk menguji kesalehan iman Ayub sendiri kepadaNya. Namun
dalam penderitaannya, Ayub tidak mengutuk Allah bahkan malah ia memuliakan
Allah oleh karena bagi dirinya Allah berkuasa terhadap apapun dan siapapun
tanpa dapat diselami oleh seseorang pun. Hanya Allah saja yang memiliki dan
memberikan hikmat kepadanya dalam menjalani penderitaannya tersebut.
Paulus
yang dikenal sebagai pembunuh umat Kristen yang sangat keji yang kemudian bertobat
dan menjadi rasul bagi orang kafir (orang non Yahudi). Paulus mengakui bahwa di
dalam segala kehidupannya, Allah turut serta memapah, mendukung, dan memberkati
Paulus dalam menunaikan misinya yaitu Kabar Keselamatan bagi setiap orang. Dia
mengakui bahwa dia tidak akan ada apa-apanya tanpa penyertaan Tuhan demikian
juga ketika ia mengalami penderitaan dimana ia dikatakan mendapatkan
penghiburan dari penderitaan-penderitaan Kristus.
Dan
bagaimanakah dengan kita, ketika kita sedang mendapat penderitaan dengan
tiba-tiba? Apakah kita bisa seperti Ayub atau Paulus yang sabar dan bertekun
dalam penderitaan atau kita menyerah dan menyalahkan Tuhan atas segala apa yang
terjadi atas kita? Inilah kiranya menjadi renungan kita, ketika kita mungkin
mendapat ataupun melewati penderitaan pada masa kini.
V.
Kesimpulan
Kehidupan setiap orang
memiliki variasi tersendiri yang khas dengan orang lain. Kehidupan dapat
berbentuk kebahagiaan, kekayaan, kemiskinan maupun kesedihan. Terlebih jika
kita mendapatkan kesedihan berupa penderitaan fisik maupun rohani, kita
seringkali menyalahkan Tuhan yang sebenarnya belum tentu adalah kehendak Tuhan
itu sendiri. Seperti halnya dari gambaran penderitaan dari dua tokoh Alkitab
dalam menghadapi dan menjalani penderitaan, dapat kita disimpulkan bahwa segala
kehidupan baik bahagia, sedih, kaya, miskin dan yang lain adalah hanya
inisiatif Allah yang berkuasa atas apapun dan siapapun dan tidak dapat ditolak
dengan cara apapun yang bersifat “Misteri”
dan “Rahasia”.
Memang hanya Allah sajalah yang
memiliki kuasa dan berkuasa atas kita dalam segala bentuk warna-warni kehidupan
kita. Namun, hendaknya kita jangan berpikir pendek jika kita mengalami
penderitaan dengan menganggap bahwa “Allah telah meninggalkan kita”, “Allah
penyebab semua penderitaan”, atau “Allah membiarkan kita larut dalam
penderitaan” dan yang lain-lain. Dan hal itu, mungkin pernah kita lakukan, yang
sama artinya adalah menyangkal Kehendak Allah itu sendiri atas hidup kita. Yang
perlu kita tanamkan dari gambaran di atas adalah bagaimana cara atau sikap kita
yang baik dan berkenan di hati Allah ketika kita mendapatkan dan menjalani
suatu penderitaan itu.
[1] J.D. Douglas (penyunting), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini : Jilid I
(A-L), (Jakarta
: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004). Hlm. 114.
[2] John Drane (ed), Nelson’s Illustrated Encyclopedia of The Bible, (Oxford : Lion
Publishing, 1998). Hlm 218.
[3] W.S. Lasor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2, Lisda Tirtapraja & Lily W.
Tjiputra (penerjemah), (Jakarta
: BPK-GM, 2007). Hlm. 107.
[4] C.
Barth, Teologi Perjanjian Lama 3, (Jakarta : BPK-GM, 2005).
Hlm. 49-50.
[6] David
Atkinson, Ayub Dalam Kasih Allah : Rahasia Penderitaan,
Tujuan dan Kekuatannya ditemukan, (Jakarta
: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006). Hlm 19-20.
[7] C.
Bijl, Ayub Sang Konglomerat, (Jakarta : Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004). Hlm. 9-10.
[8] Op. Citt., J. D.Douglas. Hlm. 113-114.
[9] Op. Citt., C. Bijl. Hlm. 19-20.
[10] Op. Citt., J.D. Douglas .
Hlm. 114.
[11] Anthony
dan Miriam Hanson, The Book of Job, (London : SCM Press Ltd.,
1962). Hlm. 39.
[12] Ibid., RAF/JMP. Hlm. 33.
[13] Ibid., Hlm. 34.
[14] Op. Citt., C. Bijl. Hlm.15-17.
[15] Op. Citt., D. Atkinson. Hlm. 33.
[16] Op. Citt., Hlm. 50.
[17]
V.C.Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan,
Stephen Suleeman (terj), (Jakarta
: BPK-GM, 2007). Hlm.1-2
[18] Op. Citt., J. D. Douglas. Hlm. 587.
[19] Op. Citt., V.C.Pfitzner. Hlm.13-17.
[20] Ibid., Hlm. 582.
[21]
J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab,
(Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1988). Hlm. 72-73.
[22] Dr. T.
Jacobs, Paulus : Hidup, Karya dan Teologinya,
(Yogyakarta : Kanisius, 1983). Hlm. 78-79.
[23] Op. Citt., J. D. Douglas. Hlm. 34-35.
[24] , Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 (Mat.-Why),
(Jakarta : BPK-GM, 1983). Hlm. 539.
[25] Ibid., hlm. 539.
[26] Op. Citt., V.C. Pfitzner. Hlm. 21-23
No comments:
Post a Comment