Wednesday, March 1, 2017

Dosa Dalam Perjanjian Baru

DOSA DALAM PERJANJIAN BARU

I.              Pendahuluan
Dosa dapat digambarkan sebagai sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya dan meleset dari target yang ditentukan. Defenisi sederhana dari dosa dalam Alkitab adalah “meleset dari sasaran”. Sasaran itu merupakan tanda atau norma dari Hukum Allah. Hukum Allah menyatakan kebenaran-Nya dan merupakan standart tertinggi bagi perilaku kita. Pada waktu kita tidak mencapai standart yang telah ditentukan ini, maka kita berdosa. Dosa bukanlah karya Allah akan tetapi merupakan kehendak manusia untuk melakukan tindakan bebas yang ingin keluar dari kehendak Allah. Untuk mempermudah pemahaman kita tentang Dosa dalam Perjanjian Baru, maka Dalam hal ini penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

II.            Terminology
2.1. Pengertian Dosa dalam Perjanjian Baru
Kata yang umum dipakai untuk dosa adalah amartia (hamartia) yang muncul dalam beberapa kali dalam kitab-kitab Injil Sinoptik (Yoh. 8:46), dan kata itu paling sering dipakai dalam hubungan dengan Pengakuan Dosa (Mat. 3:6; Mrk. 1:5). Pengertian dasarnya adalah kegagalan untuk mencapai sasaran. [1] Jika seseorang hendak mengakui dosanya, maka sangat penting baginya untuk menyadari makna tersebut. Hal ini berarti bahwa ia harus sadar mengenai apa yang diharapkan dari dirinya dan bahwa usaha-usahanya yang terbaik telah gagal untuk mencapai apa yang diharapkan itu. Kata hamartia digunakan dalam bentuk jamak (kecuali dalam Mat.12:31), karena yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang bersifat dosa, bukan dosa dalam pengertian abstrak. Kata hamartia dalam bentuk tunggal dipakai hanya sekali (Mat. 12:31), yaitu berhubungan dengan penghujatan kepada Roh Kudus (bnd. Mrk 3:29). Kata lain yang dipakai ialah paraptwma (paraptoma) yaitu pelanggaran. Dalam Markus 11:25 dan Matius 6:14 kata itu terdapat dalam bentuk jamak dan berarti tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.[2] Kata lain ialah anomia berarti pelanggaran hukum (2 Kor. 6:14) atau kebejatan moral (1 Yoh. 3:12).[3]
Apa pun yang salah dalam hubungan dengan Allah adalah dosa (Rom. 14:23). Maka penyembahan berhala adalah dosa utama (Rom. 1:23). Penyembahan berhala dianggap sebagai dosa yang paling besar karena dalam penyembahan berhala berate manusia brusaha untuk menggantikan Allah sebagai andalannya dan sasaran kasih yang terakhir, dengan “buatan tangan manusia”, yang menjadi andalan tertinggi bagi manusia (Rom. 1:12). Maka setiap perbuatan manusia, yang menjadi andalan orang menjadi barhala baginya.[4] Dosa adalah kegagalan, kekeliruan atau kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak menaati hukum, kelaliman atau ketidakadilan. Dosa ialah kejahatan dalam segala bentuknya.

        Pandangan Para Ahli mengenai Dosa
Menurut Karl Barth, dosa hanya dapat dikenal melalui penyataan Allah melalui Kristus, bukan sebelum atau di luarnya. Oleh karena itu ajaran tentang dosa (hamartiologi) harus diberi tempat dalam Kristologi. Sebab hanya di dalam Kristus kita diberi “cermin” untuk dapat mengenal diri kita sebagai orang-orang berdosa. Berhubungan dengan ini, Karl Barth menggelari Yesus Kristus sebagai berikut. Dia adalah: 1. “Allah yang benar, yaitu Allah yang merendahkan diri dan dengan demikian yang memperdamaikan”. 2. “Manusia yang benar, yaitu manusia yang dinaikkan oleh Allah dan dengan demikian yang telah diperdamaikan”. 3. “Penjamin dan saksi pendamaian kita”. Sejajar dengan pemahaman itu Barth menyebutkan adanya tiga bentuk dosa manusia, yaitu: keangkuhan, kemalasan dan kebohongan.[5]
Keangkuhan manusia sebagai pertama dosa adalah bentuk konkrit dari ketidaktaatan dan ketidakpercayaan manusia. Kemalasan berarti bahwa Allah sendiri tidak hanya menunjukkan jalan kepada manusia tetapi telah menerobosnya sehingga sebenarnya manusia tidak boleh melepaskan diri demi keinginannya sendiri, tidak boleh mencari jalan-jalan yang kabur yang penh kecerobohan, kesedihan dan keputusasaan dengan menentang anugrah yang telah menghadap, menuntun dan mengatur jalannya. Kebohongan merupakan penghancuran diri sendiri, karena manusia yang berada di bawah kekuasaan dosa dan membohongi Allah serta diri sendiri mengalami kehancuran personalitas. Dosa tidak dapat membangun kecuali hanya mengahncurkan dan mengakibatkan penderitaan atau maut.
Paul Tillich dalam teologi sistematikanya mengupas hamartiologi sebelum Kristologi. Ciri khas Tillich bersifat religius. Jatuhnya manusia ke dalam dosa dipahaminya sebagai “peralihan dari esensi ke eksistensi”, dari “ketidakbersalahan yang murni ke perealisasian diri”. Dalam peralihan itu terdapat dua elemen yaitu moralis dan tragis. Tillich menjabarkan dosa menjadi tiga bagian. 1. Ketidakpercayaan, diartikannya sebagai peristiwa dimana manusia secara utuh berpaling dari Allah. Di dalam perealisasian diri, manusia menaruh perhatian pada dunia dan pribadinya. Sehingga ia kehilangan kesatuan yang eksistensial dengan landasan pribadi dan dunia, yakni Allah. Dengan demikian pemusatan kesatuan eksistensial dengan Allah merupakan karakter yang hakiki dari dosa. 2. Konkupisensia, dijelaskan sebagai nafsu yang tak terbatas untuk melahap keseluruhan kenyataan atau seisi dunia ke dalam diri sendiri. 3. Hibris, atau keangkuhan adalah peningkatan diri manusia ke dalam bidang ilahi. Gejala utamanya adalah bahwa manusia tidak mau mengakui keterbatasannya.[6]
M.M.Thomas memahami dosa sebagai pemberontakan spiritual manusia terhadap Allah, sebagai pengasingan total manusia dari Allah, dari tetangganya, dari alamnya dan dari dirinya sendiri. Dosa dipahami sebagai kasih yang berpusat pada diri sendiri (egosentris) yang membawa pribadi untuk menguasai individu dan kelompok yang lain serta untuk menyalahgunakan alam. Oleh sebab itu, dosa tidak dapat dihapuskan hanya dengan mengadakan hubungan yang intim dengan Allah secara rohani, melalui askese dll., melainkan harus diaktualisasikan  dalam aspek sosial.[7]

III.           Dosa Dalam Perjanjian Baru
3.1. Pandangan Yesus tentang Dosa Manusia
Yesus bicara tentang dosa selaku orang Yahudi jaman itu. (1). Orang yang tidak hidup dalam perjanjian (orang kafir) ialah pendosa. Demikianpun orang yang tidak mengindahkan kehendak Allah yang terungkap secara khusus dalam hukum. (2). Yesus menyatakan bahwa ada dosa yang tersembunyi dalam hati manusia. (3). Ia mengingatkan akan belaskasihan Allah tidak terbatas yang selalu siap mangampuni dan ia sendiri menyatakan dirinya sahabat para pendosa. (4). Ia mengampuni dosa-dosa, sedangkan pengmpunan itu akan benar-benar berdaya guna setelah Ia mencurahkan darah-Nya dan bangkit. (5). Hanya hujat yang melawan Roh kudus adalah dosa yang tidak dapat diampuni. (6). Setiap orang yang beriman, sama seperti Allah, harus mengampuni mereka yang bersalah terhadapnya.[8]
Dalam Perjanjian Baru, kita bisa mengetahui pandangan dan sikap Yesus terhadap dosa dan pendosa. (1) Yesus mengenal dan menyataan dosa-dosa individual, seperti kesombongan, keterikatan pada kekayaan, tindak kejahatan, pembunuhan (Mrk. 23:1-36; Mrk. 7:20). Bagi Yesus, unsur dasariah dosa adalah ketidakteraturan batiniah, tatanan hati yang jahat. Yesus juga menyatakan tindakan-tindakan batiniah sebagai perbuatan yang mendatangkan dosa (Mat. 5:22, 28). (2) Yesus menunjukkan sikap yang baik kepada orang-orang Yahudi yang bukan praktisi Hukum Taurat. Dia menyatakan tugasnya di dunia ini. Dia datang untuk memanggil mereka yang berdosa kepada pertobatan dan bukan orang-orang baik (Mat.12:1-8; Mrk. 2:23-3:25; Luk. 6:1-11). Yesus menerima mereka dengan rahmat pembenaran.[9]
Ajaran Yesus tentang dosa antara lain:[10]
1.    Dosa meliputi semua manusia. Tidak seorang pun luput dari dosa: apa yang berlaku untuk satu orang berlaku untuk semua orang. Yesus menilai manusia secara realistis, Dia menilai bahwa manusia itu sangat berharga dalam pandangan Allah dan Dia juga menerima kenyataan bahwa semua orang telah gagal dalam mencapai rencana Allah bagi kehidupan mereka karena dosa.
2.    Dosa itu bersifat batiniah. Walaupun ajaran Yesus tentang dosa sering berpusat kepada tindakan-tindakan lahiriah, namun penyebab dasarnya berakar jauh lebih dalam. Apa yang keluar dari diri manusia itulah yang menajiskanya.
3.    Dosa berarti perbudakan. Dengan latar belakang kuasa-kuasa kegelapan terlihat bahwa manusia dalam keadaan berdosa itu ada dalam genggaman iblis.
4.    Dosa berarti pemberontakan. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-32), titik balik yang menentukan ialah saat anak bungsu itu menjadi sadar bahwa dia telah berbuat dosa dihadapan Allah dan dihadapan ayahnya (Luk. 15:18, 21). Dosa anak bungsu itu terletak pada penolakannya untuk bertindak sebagai seorang anak sebagaimana mestinya, hal ini sebenarnya berarti pemberontakan kepada ayahnya.
5.    Dosa sepatutnya mengakibatkan hukuman. Manusia berada dibawah penghakiman Allah. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah bahkan juga setiap kata yang diucapkannya (Mat. 12:36). Hukuman itu tidak terelakkan tetapi beratnya hukuman diberikan sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan (Luk. 12:47; Mat. 11:20-24).

3.2. Dosa dalam Injil Yohanes[11]
Dalam Injil Yohanes, masalah dosa memainkan peranan penting dalam ajaran Yesus; walaupun hal ini dibahas secara agak berbeda dengan pembahasan dalam kitab-kitab Injil Sinoptik. Kata yang umum untuk dosa (hamartia) hampir selalu dipakai dalam bentuk tunggal, dan biasanya berarti keadaan berdosa dan bukan dosa-dosa secara pribadi. Pernyataan pertama tentang hal ini ialah ucapan Yohanes pembabtis mengenai Yesus dalam Yoh. 1:29 (“Lihatlah Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia”). Gagasan tentang dosa dunia merupakan suatu gagasan yang sudah diterima tanpa perlu dibuktikan lagi. Dalam pendahuluan kitab Injil Yohanes, kita melihat pertentangan antara “kegelapan” dan “terang” (Yoh. 1:5), tetapi kegelapan disini tidak dikaitkan dengan dosa. Namun kata itu dikaitkan dengan hal tidak mengenal Allah (Yoh. 1:10).
Hubungan dosa dengan kematian ditemukan dalam ungkapan “kamu akan mati dalam dosamu (Yoh. 8:21), suatu ungkapan yang mungkin diambil dari Yehezkiel 3:20. dosa dipandang sebagai pemilik budak (Yoh. 8:34), seperti yang kadang-kadang ditemukan dalam surat-surat Paulus. Yesus pernah menantang orang-orang Yahudi dengan mengatakan “Siapakah diantaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?”, hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa tak seorangpun mampu membuktikannya (Yoh. 8:34).

3.2.1. Dosa sebagai keadaan yang terasing dari Allah
Dosa adalah hal melawan Allah, suatu penolakan terhadap segala sesuatu yang terbaik bagi manusia. Menurut Yohanes dosa itu berhubungan erat dengan sikap tidak percaya. Dunia digambarkan sebagai sesuatu yang dengan giat bermusuhan dengan Allah, hal ini melukiskan dosa sebagi rasa permusuhan. Yesus menjelaskan bahwa alasan dunia membenci-Nya ialah karena Ia bersaksi tentang dunia sebagaimana hakekatnya, seperti dijelaskan oleh pekerjaannya, bersisfat jahat (Yoh. 7:7). Karena itu kebencian dunia telah diketahui oleh Yesus dan Dia memperingatkan murid-murid-Nya untuk bersiap-siap menghadapinya (Yoh. 15:18-19). “Penguasa dunia ini” yang dihakimi dan dilempar ke luar pada “saat” Kristus, jelas telah merebut tempat Allah, dan telah membawa manusia terjerumus ke dalam pengasingan yang serupa (Yoh. 12:31; 14:30; 16:11).
Karena murid-murid Yesus bukan dari dunia meskipun mereka hidup di dunia (Yoh 15:19; 17:14), maka jelaslah bahwa Yesus sendiri merupakan kunci pemisahan itu. Sikap manusia terhadap Dia sangat mempengaruhi kedudukan manusia di dunia, yaitu apakah ia menjadi sasaran kebencian atau tidak. Garis pemisah antara Allah dan dunia, yang tersirat dalam kitab-kitab injil sinoptik, dinyatakan dengan sangat jelas dalam injil Yohanes. Bahkan, hal itu lebih jelas lagi dalam bagian mengenai kedatangan anti Kristus yang dicatat dalam I Yoh 2:22; 4:2,3.

3.2.2. Dosa sebagai ketidakpercayaan
Dalam Yohanes 15 terdapat dua buah pernyataan yang menandakan bahwa kedatangan Yesus (Yoh. 15:22) dan pekerjaan Yesus (Yoh. 15:24) merupakan dasar pertimbangan terhadap dosa. Jika Yesus tidak datang dan melakukan berbagai tindakan, maka mereka (yaitu dunia) tidak akan mengenal dosa. Hukuman dengan tegas dinyatakan terhadap orang-orang yang mempunyai sikap tidak percaya kepada Anak Allah (Yoh. 3:18). Penyebab ketidakpercayaan ialah perbuatan-perbuatan manusia yang jahat (Yoh. 3:19), karena perbuatan itu mencerminkan sifat yang sebenarnya dari orang yang melakukannya. Ketidakpercayaan juga berhubungan dengan ketidaktaatan, karena “barangsiapa yang tidak taat kepada Anak, murka Allah tetap ada di atasnya” (Yoh. 3:36).

3.3. Dosa Menurut Paulus[12]
Dalam surat-surat Paulus tidak ada pandangan yang mengatakan bahwa ada seseorang secara pribadi atau sekelompok orang tertentu yang tidak berdosa (Rom. 1-3). Ia memaparkan peristiwa-peristiwa yang paling jelas nampak dalam kehidupan orang-orang bukan Yahudi pada waktu itu, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa dosa itu meliputi semua orang tanpa terkecuali. Baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang bukan Yahudi sama-sama di bawah kuasa dosa (Rom. 3:9). “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (Rom. 3:10-11).
Rasul Paulus mengutip ayat-ayat Mazmur dan Yesaya untuk menjelaskan uraiannya: “…….tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rom. 3:23). Rasul Yohanes lebih tegas lagi menyatakan, “jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri”, dan “jika kita berkata bahwa kita tidak pernah berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta” (1 Yoh. 1:8, 10). Keluasan, kedalaman dan kengerian dosa manusia bukanlah kenyataan yang hanya dapat diketahui jika kita menyelidiki Alkitab. Dosa juga nyata dalam pengalaman sehari-hari. Kita sadar bahwa dalam kehidupan kita sendiri banyak kesalahan. Banyak peraturan dalam kehidupan masyarakat yang beradab adalah disebabkan dosa manusia.[13]
Paulus sering menyebut “keinginan daging” atau “keinginan tubuh yang fana” (Gal. 5:24; Rom. 13:14; Ef. 2:3). Karena keinginan mengawali tindakan, maka dapat dikatakan bahwa Paulus memandang daging itu sebagai salah satu sumber dosa. Paulus juga banyak membahas tentang penghakiman Allah (Rom. 2:2-3; 5:16; 1Kor. 11:29-34), yang mendatangkan hukuman bagi orang berdosa. Hukuman Allah itu tidak sewenang-wenang, semuanya adil (2 Tes 1:5). Tak seorang pun luput dari keadaan dosa, maka tak seorang pun luput dari akibat-akibat dosa. Akibat dosa yang paling sering disebut Paulus ialah maut. Dalam Roma 5-7 Paulus sering menghubungkan dosa dengan maut secara langsung. Dalam Roma 5:12-21, yang bagian awalnya menegaskan bahwa maut itu masuk ke dalam dunia melalui dosa dan bahwa dosa itu berkuasa sejak zaman Adam sampai zaman Musa. Dosa berukuasa dalam alam maut, sedangkan kasih karunia berkuasa dalam kebenaran (Rom. 5:21).
     
IV.          Sifat dan Akibat-akibat Dosa
Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bnd. Rom. 8:7; Yak. 4:4). Ungkapan dosa yang paling jelas ialah saran iblis bahwa manusia dapat merampas tempat penciptanya, “kamu akan menjadi seperti Allah …….(Kej. 3:5). Dalam peristiwa kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. Flp. 2:6), mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang Pencipta dan pemeliharaan-Nya dalam kasih.[14] Berdasarkan sifatnya dosa dapat digolongkan dalam dua aspek, yaitu: (1) dosa karena kekhilafan, kekeliruan, kebodohan. Hal ini menggambarkan dosa sebagai kegagalan mencapai tujuan, seumpama tombak dilemparkan ke suatu sasaran tapi meleset. “Jadi, jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17). (2) dosa karena pelanggaran. Dosa adalah pelanggaran atas suatu batasan, kehidupan tanpa aturan, tindakan yang memperkosa keadilan. “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran Hukum Allah” (1 Yoh. 3:4). Kedua penggolongan ini bertolak dari adanya suatu dasar moral. Dosa ialah suatu keadaan yang manusia gagal mencapainya, atau sebuah pelanggaran hukum.[15]
Sekarang baiklah kita mengambil kesepuluh Hukum Allah (Kel. 20:1-17) sebagai ukuran yang memperlihatkan betapa jauh kita tersesat:[16]
Ø  Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku. Menyembah Allah dengan sepenuh hati, inilah yang dituntut dari manusia. Cita-cita untuk mendapat semuanya tidak salah, tapi salahlah apabila yang demikian mengambil dan menduduki tempat pertama dalam hati ita, yang sebenarnya hanya boleh diberikan kepada Allah. Untuk menaati hukum pertama ini kita harus mengasihi Allah dengan sebulat hati dan dengan segenap jiwa kita, segenap akal budi sebagaimana difirmankan Tuhan Yesus (Mat. 22:37).
Ø  Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun. Amat salah jika kita menghampiri Allah dengan bibir, padahal hati kita jauh dari Dia (Mrk 7:6).
Ø  Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan. Nama Allah menyatakan sifat-Nya dan di dalam “Doa Bapa Kami” selalu ita ingin supaya nama itu dipermuliakan. Bukan hanya dengan perkataan saja kita dapat mencemarkan nama Allah, bahkan juga dengan pikiran dan perbuatan kita.
Ø  Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat. Dialah yang mengadakan sabat bagi manusia (Mrk 2:27). Sabat adalah hari istirahat dan hari beribadat.
Ø  Hormatilah ayahmu dan ibumu. Hukum kelima ini mengemukakan kewajiban kita terhadap orangtua. Dalam lingkungan keluargalah sifat-sifat egois kita nyata.
Ø  Jangan membunuh. Hukum ini bukanlah yang hanya meliputi larangan menghilangkan nyawa. Pandangan penuh kebencian terhadap sesama kita, adalah sama artinya dengan membunuh mereka (Mat. 5:21-26, 1 Yoh 3:15). Kita dapat membunuh dengan fitnah, membiarkan orang dirundng kesusahan atau kekejaman, dendam, dengki atau iri hati.
Ø  Jangan berzinah. Hukum ini lebih luas daripada soal kesetiaan dalam perkawinan. Tuhan Yesus berkata, “setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28). Menaruh pikiran ingin membunuh  adalah pembunuhan dan tenggelam dalam pikiran mengenai hal-hal seksual adalah perzinaan.
Ø  Jangan mencuri. Mencuri adalah mengambil milik atau hak orang lain tanpa izn orang itu. Kita wajib menolong sesama kita mempertinggi tingkat kehidupan mereka. Rasul Paulus tidak hanya menganjurkan pencuri untuk mengubah sikapnya, melainkan juga menganjurkan supaya mengambil bagian dalam lapangan kehidupan. Ia harus bertindak jujur, dan bila mungkin ia harus menolong orang yang kekurangan (Ef 4:28).
Ø  Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Hukum ini berlaku dalam sidang-sidang pengadilan, sumpah palsu, fitnah, percakapan sia-sia, menjelek-jelekkan orang lain dan berbohong.
Ø  Jangan mengingini apa pun yang dipunyai sesamamu. Kesulitan perumahan dan tekanan ekonomi yang kita alami dewasa ini, menimbulkan kecemburuan terhadap yang lain. Keserakahan, sama dengan “penyembahan berhala” kata Paulus (Kol 3:5), dan sebaliknya dikatakannya, “memang, ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar” (1 Tim 6:6).

      Karena Dosa adalah sikap yang menentang Allah, maka Allah juga tidak dapat membiarkan dosa atau tidak acuh terhadapnya. Tindakan Allah yang khas adalah murka-Nya. Akan tetapi murka Allah itu janganlah dianggap sebagai suatu kemarahan penuh yang kalap dan tidak menentu, seperti lazimnya kemarahan manusia. Murka Allah adalah rasa tidak senang atas dasar pertimbangan yang benar-benar matang dan tegas yang dituntut oleh kekudusan-Nya. Selain itu murka Allah itu juga janganlah diartikan sebagai dipacu oleh dendam , melainkan kemarahan yang kudus sebab tidak ada kedengkian di dalamnya. Murka Allah bukanlah permusuhan yang timbul dari hati yang busuk, melainkan kemarahan yang benar dan pada tempatnya.[17] Karena dosa mengakibatkan murka Allah, oleh sebab itu dosa juga memberikan pengaruh kepada kehidupan manusia terutama dalam hubungan antara Allah dan manusia.
      Dan untuk lebih jelasnya maka berikut ini akan dijabarkan bagaimana akibat dosa manusia, antara lain:[18]
  1. Terpisah dari Allah
Tujuan utama manusia ialah mengenal Allah dan bersekutu dengan Dia melalui hubungan langsung secara pribadi. Kemuliaan tertinggi manusia ialah bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah, dan kerena itu ia boleh mengenal Allah. Tapi Allah yang harus kita kenal ialah Allah yang maha suci. Dia adalah “Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Mulia, yang bersemayam untuk selamanya”, “bersemayam dalam terang yang tidak terhampiri” (Yes 57:15; I Tim. 6:16), bahkan allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan.
Alam pikiran kita tidak sanggup menduga sampai dimana kemurnian, kebesaran dan kemuliaan Allah yang Maha Kuasa itu. Tetapi kita dapat menyadari betapa orang selagi masih berada di dalam dosa-dosanya tidak akan dapat menghampiri Allah.Ada jurang yang dalam antara Allah yang suci dan manusia yang berdosa. Dosalah yang menceraikan kita dari Allah bukan saja kita ketahui dari Alkitab namun realitasnya nampak mencolok dalam kehidupan kita sehari-hari.
  1. Tertawan oleh diri sendiri
Dosa itu memperhamba kita. Dosa bukan saja perbuatan atau kebiasaan yang tercela yang dapat dilihat dari luar tetapi dosa juga adalah kerusakan akhlak yang berdiam dalam lubuk hati kita. “Yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Mat. 12:33-35). Dosa mneyatakan penyakit rohani yang merasuki hati manusia. “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yer. 17:9). Dan Yesus berkata, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, perbuatan tidak senonoh, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mark. 7:21-23).
Karena dosa adalah kejahatan yang keluar dari hati kita, maka kita tertawan olehnya. Bukan perbuatan dan tabiat jahat itu yang menawan kita, tetapi penyakit yang bersumber di dalam hati, itulah yang manawan kita.
  1. Bentrokan
Mementingkan diri tidak hanya melawan Allah, tetapi juga melawan sesama manusia. Ketidakserasian hubungan dan pergaulan antara manusia adalah lumrah sejak permulaan jaman. Pada umumnya percekcokan disebabkan oleh salah paham, dan kesalahpahaman disebablan oleh kegagalan menghargai cara berpikir pihak lain. Egoisme adalah penyebab segala kemalangan kita yang membuat kita saling bertentangan. Dosa hanya tahu meminta sedangkan kasih hanya tahu memberi, dosa sifatnya ingin memiliki, kasih sifatnya ingin memberi. Yang dibuthukan manusia adalah perubahan watak yang radikal, perubahan dari egoisme ke penyangkalan diri. Kita tidak dapat mengubah diri kita sendiri, untuk itu kita memerlukan seorang juru selamat. Kenyataan dosa-dosa kita pada akhirnya harus membuat kita sadar akan kebutuhan itu, kebutuhan akan Yesus Kristus. “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi oang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mark. 2:17). 

V.           Kesimpulan
Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah pemberontakan manusia terhadap Allah dan jawaban-Nya yang penuh anugerah. Aspek yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa memiliki pengaruh yang luas sekali bagi setiap manusia diantaranya: (a) Dalam hubungan antara manusia dengan Allah, yaitu manusia tidak lagi layak untuk menghadap kepada Allah. Tempat kehadiran Allah menjadi tempat yang menakutkan. (b) Dalam hubungan dengan sesamanya. Dosa membawa konflik dan menghasilkan perpecahan besar di antara bangsa-bangsa, sehingga terjadi pula konflik antar kelompok atau kelas. (c) Dalam hubungan dengan dirinya. Dosa mengakibatkan konflik batin dan kehilangan arah yang mengakibatkan dirinya tidak memiliki tujuan yang jelas. (d) Dalam hubungan dengan alam semesta. Umat manusia kehilangan keharmonisan dengan alam, itu terlihat dalam bentuk eksploitasi dan perusakan alam yang dilakukan manusia.





[1] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, diterjemahkan oleh Lisda Tirtaprajdja Gamadhi dkk,  Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm.200
[2] Ibid, hlm. 201
[3] W.R.F.Browning, Kamus Alkitab, diterjemahkan oleh Lim Khiem Yang, Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 84-85
[4] C. Groenen OFM, Soteriologi Alkitabiah; Keselamatan yang diberitakan Alkitab, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 101
[5] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu Kompendium Singkat, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 104
[6] Ibid, hlm 105
[7] Ibid, hlm. 109
[8] Xaxier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 212
[9] William Chang, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.164-165
[10] Guthrie,. Op.Citt, hlm. 206-207
[11] Guthrie, Op.Citt, hlm.207-210
[12] Guthrie, Op.Citt, hlm. 224-228
[13] John R.W Stott, Kedaulatan dan Karya Kristus, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000, hlm. 76
[14] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 146.
[15] Ibid, hlm. 79
[16] John R.W Stott, Karya Kristus Bagi Kita, Jakarta: BPK-GM, 1984, hlm. 66-72
[17] J. D. Douglas (Peny), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, penyumbang oleh  JM, BAM, MHS, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007, hlm. 259
[18]. Stott, Op.Citt, hlm. 89-99

1 comment:

  1. A T-Shirt designed by Titha Designs - TITanium-Arts
    This T-Shirt will also include a titanium fishing pliers "D" T-shirt with links to titanium nitride coating service near me our head titanium ti s6 "Titanium" columbia titanium jacket inspired designs for men, women, and titanium 4000 men.

    ReplyDelete