DOSA DALAM PERJANJIAN
BARU
I.
Pendahuluan
Dosa dapat digambarkan sebagai sebuah
anak panah yang dilepaskan dari busurnya dan meleset dari target yang
ditentukan. Defenisi sederhana dari dosa dalam Alkitab adalah “meleset dari
sasaran”. Sasaran itu merupakan tanda atau norma dari Hukum Allah. Hukum Allah
menyatakan kebenaran-Nya dan merupakan standart tertinggi bagi perilaku kita.
Pada waktu kita tidak mencapai standart yang telah ditentukan ini, maka kita
berdosa. Dosa bukanlah karya Allah akan tetapi merupakan kehendak manusia untuk
melakukan tindakan bebas yang ingin keluar dari kehendak Allah. Untuk
mempermudah pemahaman kita tentang Dosa dalam Perjanjian Baru, maka Dalam hal
ini penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
II.
Terminology
2.1. Pengertian Dosa
dalam Perjanjian Baru
Kata yang umum dipakai untuk dosa
adalah amartia (hamartia)
yang muncul dalam beberapa kali dalam kitab-kitab Injil Sinoptik (Yoh. 8:46),
dan kata itu paling sering dipakai dalam hubungan dengan Pengakuan Dosa (Mat.
3:6; Mrk. 1:5). Pengertian dasarnya adalah kegagalan untuk mencapai sasaran. [1]
Jika seseorang hendak mengakui dosanya, maka sangat penting baginya untuk
menyadari makna tersebut. Hal ini berarti bahwa ia harus sadar mengenai apa
yang diharapkan dari dirinya dan bahwa usaha-usahanya yang terbaik telah gagal
untuk mencapai apa yang diharapkan itu. Kata hamartia digunakan dalam bentuk jamak (kecuali dalam Mat.12:31),
karena yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang bersifat dosa, bukan dosa
dalam pengertian abstrak. Kata hamartia
dalam bentuk tunggal dipakai hanya sekali (Mat. 12:31), yaitu berhubungan
dengan penghujatan kepada Roh Kudus (bnd. Mrk 3:29). Kata lain yang dipakai
ialah paraptwma (paraptoma)
yaitu pelanggaran. Dalam Markus 11:25 dan Matius 6:14 kata itu terdapat dalam
bentuk jamak dan berarti tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku.[2] Kata
lain ialah anomia berarti pelanggaran hukum (2 Kor.
6:14) atau kebejatan moral (1 Yoh. 3:12).[3]
Apa pun yang salah dalam hubungan
dengan Allah adalah dosa (Rom. 14:23). Maka penyembahan berhala adalah dosa
utama (Rom. 1:23). Penyembahan berhala dianggap sebagai dosa yang paling besar
karena dalam penyembahan berhala berate manusia brusaha untuk menggantikan
Allah sebagai andalannya dan sasaran kasih yang terakhir, dengan “buatan tangan
manusia”, yang menjadi andalan tertinggi bagi manusia (Rom. 1:12). Maka setiap
perbuatan manusia, yang menjadi andalan orang menjadi barhala baginya.[4] Dosa
adalah kegagalan, kekeliruan atau kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak
menaati hukum, kelaliman atau ketidakadilan. Dosa ialah kejahatan dalam segala
bentuknya.
Pandangan Para Ahli mengenai Dosa
Menurut Karl Barth, dosa hanya dapat dikenal melalui penyataan Allah
melalui Kristus, bukan sebelum atau di luarnya. Oleh karena itu ajaran tentang
dosa (hamartiologi) harus diberi
tempat dalam Kristologi. Sebab hanya di dalam Kristus kita diberi “cermin”
untuk dapat mengenal diri kita sebagai orang-orang berdosa. Berhubungan dengan
ini, Karl Barth menggelari Yesus Kristus sebagai berikut. Dia adalah: 1. “Allah
yang benar, yaitu Allah yang merendahkan diri dan dengan demikian yang
memperdamaikan”. 2. “Manusia yang benar, yaitu manusia yang dinaikkan oleh
Allah dan dengan demikian yang telah diperdamaikan”. 3. “Penjamin dan saksi
pendamaian kita”. Sejajar dengan pemahaman itu Barth menyebutkan adanya tiga bentuk
dosa manusia, yaitu: keangkuhan,
kemalasan dan kebohongan.[5]
Keangkuhan manusia sebagai pertama
dosa adalah bentuk konkrit dari ketidaktaatan dan ketidakpercayaan manusia.
Kemalasan berarti bahwa Allah sendiri tidak hanya menunjukkan jalan kepada
manusia tetapi telah menerobosnya sehingga sebenarnya manusia tidak boleh
melepaskan diri demi keinginannya sendiri, tidak boleh mencari jalan-jalan yang
kabur yang penh kecerobohan, kesedihan dan keputusasaan dengan menentang
anugrah yang telah menghadap, menuntun dan mengatur jalannya. Kebohongan
merupakan penghancuran diri sendiri, karena manusia yang berada di bawah
kekuasaan dosa dan membohongi Allah serta diri sendiri mengalami kehancuran
personalitas. Dosa tidak dapat membangun kecuali hanya mengahncurkan dan
mengakibatkan penderitaan atau maut.
Paul
Tillich dalam teologi
sistematikanya mengupas hamartiologi
sebelum Kristologi. Ciri khas Tillich bersifat religius. Jatuhnya manusia ke
dalam dosa dipahaminya sebagai “peralihan
dari esensi ke eksistensi”, dari “ketidakbersalahan yang murni ke perealisasian
diri”. Dalam peralihan itu terdapat dua elemen yaitu moralis dan tragis.
Tillich menjabarkan dosa menjadi tiga bagian. 1. Ketidakpercayaan, diartikannya sebagai peristiwa dimana manusia
secara utuh berpaling dari Allah. Di dalam perealisasian diri, manusia menaruh
perhatian pada dunia dan pribadinya. Sehingga ia kehilangan kesatuan yang
eksistensial dengan landasan pribadi dan dunia, yakni Allah. Dengan demikian
pemusatan kesatuan eksistensial dengan Allah merupakan karakter yang hakiki
dari dosa. 2. Konkupisensia,
dijelaskan sebagai nafsu yang tak terbatas untuk melahap keseluruhan kenyataan
atau seisi dunia ke dalam diri sendiri. 3. Hibris,
atau keangkuhan adalah peningkatan diri manusia ke dalam bidang ilahi. Gejala
utamanya adalah bahwa manusia tidak mau mengakui keterbatasannya.[6]
M.M.Thomas memahami dosa sebagai pemberontakan
spiritual manusia terhadap Allah, sebagai pengasingan total manusia dari Allah,
dari tetangganya, dari alamnya dan dari dirinya sendiri. Dosa dipahami sebagai
kasih yang berpusat pada diri sendiri (egosentris) yang membawa pribadi untuk
menguasai individu dan kelompok yang lain serta untuk menyalahgunakan alam.
Oleh sebab itu, dosa tidak dapat dihapuskan hanya dengan mengadakan hubungan
yang intim dengan Allah secara rohani, melalui askese dll., melainkan harus
diaktualisasikan dalam aspek sosial.[7]
III.
Dosa Dalam Perjanjian Baru
3.1. Pandangan Yesus
tentang Dosa Manusia
Yesus bicara tentang dosa selaku orang
Yahudi jaman itu. (1). Orang yang tidak hidup dalam perjanjian (orang kafir)
ialah pendosa. Demikianpun orang yang tidak mengindahkan kehendak Allah yang
terungkap secara khusus dalam hukum. (2). Yesus menyatakan bahwa ada dosa yang
tersembunyi dalam hati manusia. (3). Ia mengingatkan akan belaskasihan Allah
tidak terbatas yang selalu siap mangampuni dan ia sendiri menyatakan dirinya
sahabat para pendosa. (4). Ia mengampuni dosa-dosa, sedangkan pengmpunan itu
akan benar-benar berdaya guna setelah Ia mencurahkan darah-Nya dan bangkit. (5).
Hanya hujat yang melawan Roh kudus adalah dosa yang tidak dapat diampuni. (6).
Setiap orang yang beriman, sama seperti Allah, harus mengampuni mereka yang
bersalah terhadapnya.[8]
Dalam Perjanjian Baru, kita bisa
mengetahui pandangan dan sikap Yesus terhadap dosa dan pendosa. (1) Yesus
mengenal dan menyataan dosa-dosa individual, seperti kesombongan, keterikatan
pada kekayaan, tindak kejahatan, pembunuhan (Mrk. 23:1-36; Mrk. 7:20). Bagi
Yesus, unsur dasariah dosa adalah ketidakteraturan batiniah, tatanan hati yang
jahat. Yesus juga menyatakan tindakan-tindakan batiniah sebagai perbuatan yang
mendatangkan dosa (Mat. 5:22, 28). (2) Yesus menunjukkan sikap yang baik kepada
orang-orang Yahudi yang bukan praktisi Hukum Taurat. Dia menyatakan tugasnya di
dunia ini. Dia datang untuk memanggil mereka yang berdosa kepada pertobatan dan
bukan orang-orang baik (Mat.12:1-8; Mrk. 2:23-3:25; Luk. 6:1-11). Yesus
menerima mereka dengan rahmat pembenaran.[9]
Ajaran
Yesus tentang dosa antara lain:[10]
1.
Dosa
meliputi semua manusia. Tidak seorang pun luput dari dosa: apa yang berlaku
untuk satu orang berlaku untuk semua orang. Yesus menilai manusia secara
realistis, Dia menilai bahwa manusia itu sangat berharga dalam pandangan Allah
dan Dia juga menerima kenyataan bahwa semua orang telah gagal dalam mencapai
rencana Allah bagi kehidupan mereka karena dosa.
2.
Dosa
itu bersifat batiniah. Walaupun ajaran Yesus tentang dosa sering berpusat
kepada tindakan-tindakan lahiriah, namun penyebab dasarnya berakar jauh lebih
dalam. Apa yang keluar dari diri manusia itulah yang menajiskanya.
3.
Dosa
berarti perbudakan. Dengan latar belakang kuasa-kuasa kegelapan terlihat bahwa
manusia dalam keadaan berdosa itu ada dalam genggaman iblis.
4.
Dosa
berarti pemberontakan. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk.
15:11-32), titik balik yang menentukan ialah saat anak bungsu itu menjadi sadar
bahwa dia telah berbuat dosa dihadapan Allah dan dihadapan ayahnya (Luk. 15:18,
21). Dosa anak bungsu itu terletak pada penolakannya untuk bertindak sebagai
seorang anak sebagaimana mestinya, hal ini sebenarnya berarti pemberontakan
kepada ayahnya.
5.
Dosa
sepatutnya mengakibatkan hukuman. Manusia berada dibawah penghakiman Allah.
Setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah bahkan
juga setiap kata yang diucapkannya (Mat. 12:36). Hukuman itu tidak terelakkan
tetapi beratnya hukuman diberikan sesuai dengan beratnya kejahatan yang
dilakukan (Luk. 12:47; Mat. 11:20-24).
3.2.
Dosa dalam Injil Yohanes[11]
Dalam Injil Yohanes, masalah dosa
memainkan peranan penting dalam ajaran Yesus; walaupun hal ini dibahas secara
agak berbeda dengan pembahasan dalam kitab-kitab Injil Sinoptik. Kata yang umum
untuk dosa (hamartia) hampir selalu dipakai dalam bentuk tunggal, dan biasanya
berarti keadaan berdosa dan bukan dosa-dosa secara pribadi. Pernyataan pertama
tentang hal ini ialah ucapan Yohanes pembabtis mengenai Yesus dalam Yoh. 1:29
(“Lihatlah Anak domba Allah yang
menghapus dosa dunia”). Gagasan tentang dosa dunia merupakan suatu gagasan
yang sudah diterima tanpa perlu dibuktikan lagi. Dalam pendahuluan kitab Injil
Yohanes, kita melihat pertentangan antara “kegelapan” dan “terang” (Yoh. 1:5),
tetapi kegelapan disini tidak dikaitkan dengan dosa. Namun kata itu dikaitkan
dengan hal tidak mengenal Allah (Yoh. 1:10).
Hubungan dosa dengan kematian
ditemukan dalam ungkapan “kamu akan mati
dalam dosamu (Yoh. 8:21), suatu ungkapan yang mungkin diambil dari
Yehezkiel 3:20. dosa dipandang sebagai pemilik budak (Yoh. 8:34), seperti yang
kadang-kadang ditemukan dalam surat-surat Paulus. Yesus pernah menantang
orang-orang Yahudi dengan mengatakan “Siapakah
diantaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?”, hal ini menyatakan
secara tidak langsung bahwa tak seorangpun mampu membuktikannya (Yoh. 8:34).
3.2.1.
Dosa sebagai keadaan yang terasing dari Allah
Dosa adalah hal melawan Allah, suatu
penolakan terhadap segala sesuatu yang terbaik bagi manusia. Menurut Yohanes
dosa itu berhubungan erat dengan sikap tidak percaya. Dunia digambarkan sebagai
sesuatu yang dengan giat bermusuhan dengan Allah, hal ini melukiskan dosa
sebagi rasa permusuhan. Yesus menjelaskan bahwa alasan dunia membenci-Nya ialah
karena Ia bersaksi tentang dunia sebagaimana hakekatnya, seperti dijelaskan
oleh pekerjaannya, bersisfat jahat (Yoh. 7:7). Karena itu kebencian dunia telah
diketahui oleh Yesus dan Dia memperingatkan murid-murid-Nya untuk bersiap-siap
menghadapinya (Yoh. 15:18-19). “Penguasa dunia ini” yang dihakimi dan dilempar
ke luar pada “saat” Kristus, jelas telah merebut tempat Allah, dan telah membawa
manusia terjerumus ke dalam pengasingan yang serupa (Yoh. 12:31; 14:30; 16:11).
Karena murid-murid Yesus bukan dari
dunia meskipun mereka hidup di dunia (Yoh 15:19; 17:14), maka jelaslah bahwa
Yesus sendiri merupakan kunci pemisahan itu. Sikap manusia terhadap Dia sangat
mempengaruhi kedudukan manusia di dunia, yaitu apakah ia menjadi sasaran
kebencian atau tidak. Garis pemisah antara Allah dan dunia, yang tersirat dalam
kitab-kitab injil sinoptik, dinyatakan dengan sangat jelas dalam injil Yohanes.
Bahkan, hal itu lebih jelas lagi dalam bagian mengenai kedatangan anti Kristus
yang dicatat dalam I Yoh 2:22; 4:2,3.
3.2.2.
Dosa sebagai ketidakpercayaan
Dalam Yohanes 15 terdapat dua buah
pernyataan yang menandakan bahwa kedatangan Yesus (Yoh. 15:22) dan pekerjaan
Yesus (Yoh. 15:24) merupakan dasar pertimbangan terhadap dosa. Jika Yesus tidak
datang dan melakukan berbagai tindakan, maka mereka (yaitu dunia) tidak akan
mengenal dosa. Hukuman dengan tegas dinyatakan terhadap orang-orang yang
mempunyai sikap tidak percaya kepada Anak Allah (Yoh. 3:18). Penyebab
ketidakpercayaan ialah perbuatan-perbuatan manusia yang jahat (Yoh. 3:19),
karena perbuatan itu mencerminkan sifat yang sebenarnya dari orang yang
melakukannya. Ketidakpercayaan juga berhubungan dengan ketidaktaatan, karena
“barangsiapa yang tidak taat kepada Anak, murka Allah tetap ada di atasnya”
(Yoh. 3:36).
3.3.
Dosa Menurut Paulus[12]
Dalam surat-surat Paulus tidak ada
pandangan yang mengatakan bahwa ada seseorang secara pribadi atau sekelompok
orang tertentu yang tidak berdosa (Rom. 1-3). Ia memaparkan
peristiwa-peristiwa yang paling jelas nampak dalam kehidupan orang-orang bukan
Yahudi pada waktu itu, dengan maksud untuk menunjukkan bahwa dosa itu meliputi
semua orang tanpa terkecuali. Baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang bukan
Yahudi sama-sama di bawah kuasa dosa (Rom. 3:9). “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak seorang pun yang
berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (Rom. 3:10-11).
Rasul Paulus mengutip ayat-ayat Mazmur
dan Yesaya untuk menjelaskan uraiannya: “…….tidak ada perbedaan. Karena semua
orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rom. 3:23). Rasul
Yohanes lebih tegas lagi menyatakan, “jika kita berkata bahwa kita tidak
berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri”, dan “jika kita berkata bahwa kita
tidak pernah berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta” (1 Yoh. 1:8,
10). Keluasan, kedalaman dan kengerian dosa manusia bukanlah kenyataan yang
hanya dapat diketahui jika kita menyelidiki Alkitab. Dosa juga nyata dalam
pengalaman sehari-hari. Kita sadar bahwa dalam kehidupan kita sendiri banyak
kesalahan. Banyak peraturan dalam kehidupan masyarakat yang beradab adalah
disebabkan dosa manusia.[13]
Paulus sering menyebut “keinginan
daging” atau “keinginan tubuh yang fana” (Gal. 5:24; Rom. 13:14; Ef. 2:3).
Karena keinginan mengawali tindakan, maka dapat dikatakan bahwa Paulus
memandang daging itu sebagai salah satu sumber dosa. Paulus juga banyak
membahas tentang penghakiman Allah (Rom. 2:2-3; 5:16; 1Kor. 11:29-34),
yang mendatangkan hukuman bagi orang berdosa. Hukuman Allah itu tidak
sewenang-wenang, semuanya adil (2 Tes 1:5). Tak seorang pun luput dari keadaan
dosa, maka tak seorang pun luput dari akibat-akibat dosa. Akibat dosa yang
paling sering disebut Paulus ialah maut. Dalam Roma 5-7 Paulus sering
menghubungkan dosa dengan maut secara langsung. Dalam Roma 5:12-21, yang bagian
awalnya menegaskan bahwa maut itu masuk ke dalam dunia melalui dosa dan bahwa
dosa itu berkuasa sejak zaman Adam sampai zaman Musa. Dosa berukuasa dalam alam
maut, sedangkan kasih karunia berkuasa dalam kebenaran (Rom. 5:21).
IV.
Sifat dan Akibat-akibat Dosa
Aspek yang paling khas dari dosa
adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah (bnd. Rom. 8:7; Yak. 4:4). Ungkapan dosa
yang paling jelas ialah saran iblis bahwa manusia dapat merampas tempat
penciptanya, “kamu akan menjadi seperti Allah …….(Kej. 3:5). Dalam peristiwa
kejatuhan, manusia berusaha meraih persamaan dengan Allah (bnd. Flp. 2:6),
mencoba memberlakukan kemerdekaan dari Allah serta mempertanyakan integritas Sang
Pencipta dan pemeliharaan-Nya dalam kasih.[14]
Berdasarkan sifatnya dosa dapat digolongkan dalam dua aspek, yaitu: (1) dosa
karena kekhilafan, kekeliruan, kebodohan. Hal ini menggambarkan dosa sebagai
kegagalan mencapai tujuan, seumpama tombak dilemparkan ke suatu sasaran tapi
meleset. “Jadi, jika seseorang tahu
bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa”
(Yak. 4:17). (2) dosa karena pelanggaran. Dosa adalah pelanggaran atas suatu batasan,
kehidupan tanpa aturan, tindakan yang memperkosa keadilan. “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar
juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran Hukum Allah” (1 Yoh. 3:4).
Kedua penggolongan ini bertolak dari adanya suatu dasar moral. Dosa ialah suatu
keadaan yang manusia gagal mencapainya, atau sebuah pelanggaran hukum.[15]
Sekarang baiklah kita mengambil
kesepuluh Hukum Allah (Kel. 20:1-17) sebagai ukuran yang memperlihatkan betapa
jauh kita tersesat:[16]
Ø
Jangan
ada padamu allah lain dihadapan-Ku. Menyembah Allah dengan sepenuh hati, inilah
yang dituntut dari manusia. Cita-cita untuk mendapat semuanya tidak salah, tapi
salahlah apabila yang demikian mengambil dan menduduki tempat pertama dalam
hati ita, yang sebenarnya hanya boleh diberikan kepada Allah. Untuk menaati
hukum pertama ini kita harus mengasihi Allah dengan sebulat hati dan dengan
segenap jiwa kita, segenap akal budi sebagaimana difirmankan Tuhan Yesus (Mat.
22:37).
Ø
Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun. Amat salah jika kita menghampiri
Allah dengan bibir, padahal hati kita jauh dari Dia (Mrk 7:6).
Ø
Jangan
menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan. Nama Allah menyatakan
sifat-Nya dan di dalam “Doa Bapa Kami” selalu ita ingin supaya nama itu
dipermuliakan. Bukan hanya dengan perkataan saja kita dapat mencemarkan nama
Allah, bahkan juga dengan pikiran dan perbuatan kita.
Ø
Ingatlah
dan kuduskanlah hari sabat. Dialah yang mengadakan sabat bagi manusia (Mrk
2:27). Sabat adalah hari istirahat dan hari beribadat.
Ø
Hormatilah
ayahmu dan ibumu. Hukum kelima ini mengemukakan kewajiban kita terhadap
orangtua. Dalam lingkungan keluargalah sifat-sifat egois kita nyata.
Ø
Jangan
membunuh. Hukum ini bukanlah yang hanya meliputi larangan menghilangkan nyawa.
Pandangan penuh kebencian terhadap sesama kita, adalah sama artinya dengan
membunuh mereka (Mat. 5:21-26, 1 Yoh 3:15). Kita dapat membunuh dengan fitnah,
membiarkan orang dirundng kesusahan atau kekejaman, dendam, dengki atau iri
hati.
Ø
Jangan
berzinah. Hukum ini lebih luas daripada soal kesetiaan dalam perkawinan. Tuhan
Yesus berkata, “setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28). Menaruh pikiran ingin
membunuh adalah pembunuhan dan tenggelam
dalam pikiran mengenai hal-hal seksual adalah perzinaan.
Ø
Jangan
mencuri. Mencuri adalah mengambil milik atau hak orang lain tanpa izn orang
itu. Kita wajib menolong sesama kita mempertinggi tingkat kehidupan mereka.
Rasul Paulus tidak hanya menganjurkan pencuri untuk mengubah sikapnya,
melainkan juga menganjurkan supaya mengambil bagian dalam lapangan kehidupan.
Ia harus bertindak jujur, dan bila mungkin ia harus menolong orang yang
kekurangan (Ef 4:28).
Ø
Jangan
mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Hukum ini berlaku dalam sidang-sidang
pengadilan, sumpah palsu, fitnah, percakapan sia-sia, menjelek-jelekkan orang
lain dan berbohong.
Ø
Jangan
mengingini apa pun yang dipunyai sesamamu. Kesulitan perumahan dan tekanan
ekonomi yang kita alami dewasa ini, menimbulkan kecemburuan terhadap yang lain.
Keserakahan, sama dengan “penyembahan berhala” kata Paulus (Kol 3:5), dan
sebaliknya dikatakannya, “memang, ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi
keuntungan besar” (1 Tim 6:6).
Karena
Dosa adalah sikap yang menentang Allah, maka Allah juga tidak dapat membiarkan
dosa atau tidak acuh terhadapnya. Tindakan Allah yang khas adalah murka-Nya.
Akan tetapi murka Allah itu janganlah dianggap sebagai suatu kemarahan penuh
yang kalap dan tidak menentu, seperti lazimnya kemarahan manusia. Murka Allah
adalah rasa tidak senang atas dasar pertimbangan yang benar-benar matang dan
tegas yang dituntut oleh kekudusan-Nya. Selain itu murka Allah itu juga
janganlah diartikan sebagai dipacu oleh dendam , melainkan kemarahan yang kudus
sebab tidak ada kedengkian di dalamnya. Murka Allah bukanlah permusuhan yang
timbul dari hati yang busuk, melainkan kemarahan yang benar dan pada tempatnya.[17]
Karena dosa mengakibatkan murka Allah, oleh sebab itu dosa juga memberikan
pengaruh kepada kehidupan manusia terutama dalam hubungan antara Allah dan
manusia.
Dan
untuk lebih jelasnya maka berikut ini akan dijabarkan bagaimana akibat dosa
manusia, antara lain:[18]
- Terpisah
dari Allah
Tujuan utama manusia ialah mengenal
Allah dan bersekutu dengan Dia melalui hubungan langsung secara pribadi.
Kemuliaan tertinggi manusia ialah bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah, dan
kerena itu ia boleh mengenal Allah. Tapi Allah yang harus kita kenal ialah
Allah yang maha suci. Dia adalah “Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Mulia, yang
bersemayam untuk selamanya”, “bersemayam dalam terang yang tidak terhampiri”
(Yes 57:15; I Tim. 6:16), bahkan allah adalah terang dan di dalam Dia sama
sekali tidak ada kegelapan.
Alam pikiran kita tidak sanggup
menduga sampai dimana kemurnian, kebesaran dan kemuliaan Allah yang Maha Kuasa
itu. Tetapi kita dapat menyadari betapa orang selagi masih berada di dalam
dosa-dosanya tidak akan dapat menghampiri Allah.Ada jurang yang dalam antara
Allah yang suci dan manusia yang berdosa. Dosalah yang menceraikan kita dari
Allah bukan saja kita ketahui dari Alkitab namun realitasnya nampak mencolok
dalam kehidupan kita sehari-hari.
- Tertawan
oleh diri sendiri
Dosa itu memperhamba kita. Dosa bukan
saja perbuatan atau kebiasaan yang tercela yang dapat dilihat dari luar tetapi
dosa juga adalah kerusakan akhlak yang berdiam dalam lubuk hati kita. “Yang
diucapkan mulut meluap dari hati” (Mat. 12:33-35). Dosa mneyatakan penyakit
rohani yang merasuki hati manusia. “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada
segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”
(Yer. 17:9). Dan Yesus berkata, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul
segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan,
keserakahan, kejahatan, kelicikan, perbuatan tidak senonoh, iri hati, hujat,
kesombongan, kebebalan. Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan
orang” (Mark. 7:21-23).
Karena dosa adalah kejahatan yang
keluar dari hati kita, maka kita tertawan olehnya. Bukan perbuatan dan tabiat
jahat itu yang menawan kita, tetapi penyakit yang bersumber di dalam hati,
itulah yang manawan kita.
- Bentrokan
Mementingkan diri tidak hanya melawan
Allah, tetapi juga melawan sesama manusia. Ketidakserasian hubungan dan
pergaulan antara manusia adalah lumrah sejak permulaan jaman. Pada umumnya
percekcokan disebabkan oleh salah paham, dan kesalahpahaman disebablan oleh
kegagalan menghargai cara berpikir pihak lain. Egoisme adalah penyebab segala
kemalangan kita yang membuat kita saling bertentangan. Dosa hanya tahu meminta
sedangkan kasih hanya tahu memberi, dosa sifatnya ingin memiliki, kasih
sifatnya ingin memberi. Yang dibuthukan manusia adalah perubahan watak yang
radikal, perubahan dari egoisme ke penyangkalan diri. Kita tidak dapat mengubah
diri kita sendiri, untuk itu kita memerlukan seorang juru selamat. Kenyataan
dosa-dosa kita pada akhirnya harus membuat kita sadar akan kebutuhan itu,
kebutuhan akan Yesus Kristus. “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi
oang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang
berdosa” (Mark. 2:17).
V.
Kesimpulan
Alkitab menggunakan beraneka macam
istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah
pemberontakan manusia terhadap Allah dan jawaban-Nya yang penuh anugerah. Aspek
yang paling khas dari dosa adalah bahwa dosa bertujuan melawan Allah. Kejatuhan
manusia ke dalam dosa memiliki pengaruh yang luas sekali bagi setiap manusia
diantaranya: (a) Dalam hubungan antara manusia dengan Allah, yaitu manusia
tidak lagi layak untuk menghadap kepada Allah. Tempat kehadiran Allah menjadi
tempat yang menakutkan. (b) Dalam hubungan dengan sesamanya. Dosa membawa
konflik dan menghasilkan perpecahan besar di antara bangsa-bangsa, sehingga
terjadi pula konflik antar kelompok atau kelas. (c) Dalam hubungan dengan
dirinya. Dosa mengakibatkan konflik batin dan kehilangan arah yang
mengakibatkan dirinya tidak memiliki tujuan yang jelas. (d) Dalam hubungan
dengan alam semesta. Umat manusia kehilangan keharmonisan dengan alam, itu
terlihat dalam bentuk eksploitasi dan perusakan alam yang dilakukan manusia.
[1] Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1,
diterjemahkan oleh Lisda Tirtaprajdja Gamadhi dkk, Jakarta :
BPK-GM, 2005, hlm.200
[2] Ibid, hlm. 201
[3]
W.R.F.Browning, Kamus Alkitab, diterjemahkan
oleh Lim Khiem Yang, Bambang Subandrijo, Jakarta :
BPK-GM, 2007, hlm. 84-85
[4] C.
Groenen OFM, Soteriologi Alkitabiah;
Keselamatan yang diberitakan Alkitab, Yogyakarta :
Kanisius, 1994, hlm. 101
[5] Dieter
Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu
Kompendium Singkat, Jakarta :
BPK-GM, 2001, hlm. 104
[6] Ibid, hlm 105
[7] Ibid, hlm. 109
[8] Xaxier
Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru,
Yogyakarta : Kanisius, 1990, hlm. 212
[9] William
Chang, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta : Kanisius, 2001, hlm.164-165
[10]
Guthrie,. Op.Citt, hlm. 206-207
[11] Guthrie, Op.Citt, hlm.207-210
[12]
Guthrie, Op.Citt, hlm. 224-228
[13] John
R.W Stott, Kedaulatan dan Karya Kristus,
Jakarta :
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000, hlm. 76
[14] Bruce
Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta : BPK-GM, 2003,
hlm. 146.
[15] Ibid, hlm. 79
[16] John
R.W Stott, Karya Kristus Bagi Kita, Jakarta : BPK-GM, 1984,
hlm. 66-72
[17] J. D.
Douglas (Peny), Ensiklopedi Alkitab Masa
Kini Jilid I, penyumbang oleh JM,
BAM, MHS, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007, hlm. 259
[18]. Stott,
Op.Citt, hlm. 89-99
A T-Shirt designed by Titha Designs - TITanium-Arts
ReplyDeleteThis T-Shirt will also include a titanium fishing pliers "D" T-shirt with links to titanium nitride coating service near me our head titanium ti s6 "Titanium" columbia titanium jacket inspired designs for men, women, and titanium 4000 men.