Keadilan dan Kesetaraan Gender
I.
Pendahuluan
Dalam banyak kebudayaan, kaum wanita dianggap lebih rendah dan dihina
oleh kaum pria. Mereka sering diperlakukan tidak lebih dari pada mainan dan
objek seks, pengurus rumah tangga,dan tidak mampu diajak berdiskusi mengenai
hal yang bersifat rasional. Bakat-bakat mereka tidak pernah dihargai, kebebasan
mereka dibatasi sedang pelayanan mereka dibeberapa bidang tertentu ditolak
dengan keras. [1]
Sejarah penindasan terhadap kaum wanita sudah berlangsung begitu lama
sehingga dirasakan sudah tiba saatnya masyarakat yang didominasi oleh kaum pria
itu harus mengoreksi dirinya, yaitu pertama, pentingnya mendengarkan secara
cermat pada apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh feminisme. Kedua, mendengarkan
dan meneliti secara cermat apa yang dikatakan oleh Alkitab. Karena dengan
demikian kita terhindar dari bahaya, baik mengingkari Alkitab demi itikad untuk
bisa berfikiran maju. [2]
II.
Terminologi
Gender adalah
jenis kelamin.[3] Gender adalah pembedaan kata sesuai
dengan kelaminnya.[4] Gender
bersifat non-kodrati, tidak alami dan dibuat atau ditentukan oleh masyarakat.
III. Kekerasan terhadap gender
Berbicara tentang kekerasan selalu menjadi topik yang menarik untuk
dibicarakan. Sejak permulaan manusia di bumi tindak kekerasan sudah ada. Hal
ini dapat kita pahami sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (bnd. Kej. 3:1-24),
manusia cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap sesamanya misalnya
pembunuhan ynag dilakukan Kain terhadap adiknya Habel (kej.4:1-6). Berkaitan
dengan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam Perjanjian Lama terlihat
ketimpangan gender yaitu apabila seorang istri tidak memuaskan suaminya maka si
suami berhak menceraikan istrinya tersebut (Ul. 21:14-15). Hal yang sama ,
bandingkan tokoh Perjanjian Lama : Abraham, Salomo, Daud, Yakub, yaitu
terjadinya perkawinan poligami, sedangkan bagi perempuan poliandri tidak
diperkenankan.
·
Faktor
agama
Adanya pendapat yang memahami bahwa agama dan ajarannya adalah suci, tetapi
karena manusia terbatas dalam pikiran dan perbuatan, maka muncullah
penyimpangan-penyimpangan, ketimpangan tersebut menghasilkan tindakan-tindakan
serta perlakuan yang tidak adil dalam masalah gender.
·
Faktor
ekonomi
Dalam kemajuan zaman banyak bentuk pengeksploitasian terhadap
kaum perempuan,dimana tubuh wanita dijadikan objek manipulasi realitas, dan
untuk membangkitkan gairah konsumen terhadap barang tertentu. Dalam masalah
rumah tangga diman si suami menjadi tulang punggung perekonomian sering menjadi
permasalahan bahwa dalam diri si suami merasa dirinya superior terhadap
istrinya karena pekerjaan si suami tersebut menghasilkan upah untuk menghidupi
keluarganya.
·
Faktor
budaya
Pada umumnya masyarakat Indonesia didominasi dengan sistem
pattraikhatsehingga mengakibatkan adanya perbedaan hak dan peran laki-laki dan
perempuansehingga banyak menimbulkan ketimpangan dan kekerasan terhadap kaum
perempuan. [5]
IV. Bangkitnya gerakan feminis
Kita mengetahui rendahnya derajat kaum wanita dalam anggapan orang-orang
pada zaman dahulu kala. Plato yang percaya bahwa jiwa terperangkap dalam tubuh
dan kelepasannya dari tubuh hanya untuk terperangkap lagi dalam suatu
reinkarnasi. Ia juga melanjutkan uraiannya bahwa nasib malang yang bisa menimpa laki-laki adalah
apabila ia berinkarnasi sebagai wanita.Yosefus mengemukakan pendapatnya bahwa wanita adalah inferior dalam segala hal
dibandingkan pria. Tertulianus, seorang bapa gereja mengemukakan bahwa, “wanita
adalah pintu masuk iblis; wanita adalah perusak materai pohon (yang terlarang)
itu; wanita adalah pelanggar utama hukum ilahi; wanita adalah pembujuk pria;
wanita begitu gampang citra Allah yaitu pria. Akibat yang akan diterima adalah kematian,
bahkan anak Allah pun harus menderita kematian.”
Bahasa yang
menjelek-jelekkan kedudukan wanita tersebut tidak layak keluar dari “pena” seorang pengikut Yesus, karena
justru Dialah pangkal pembebasan wanita zaman ini.[6]
Setidaknya selama abad ini, kedudukan dan peranan wanita sudah mengalami
perubahan yang sangat cepat. Mereka telah memperoleh hak memilih, berkat
agitasi kaum “suffragette”
(wanita-wanita pejuang bagi kesamaan hak suara) yang gigih. Wanita berhak
memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukannya dan diperbolehkan untuk
menempati setiap jabatan, profesi, dan kedudukan dalam pemerintahan.Gerakan
feminisme mendapat momentum, khususnya pada tahun 60-an. Germaine Greer menyerukan suatu revolusi. Dalam bukunya “The Female Eunuch”, ada suatu bab yang
berjudul “Mitos kelas menengah tentang
cinta dan perkawinan”, di situ ia menyarankan agar wanita jangan terjebak
dalam ikatan-ikatan yang ditetapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan
bila terjebak dalam ikatan itu supaya jangan ragu-ragu untuk memutuskannya.
Jika merasa tidak betah, kaum wanita adalah proletariat
asli mayoritas yang benar-benar ditindas; mereka harus berontak dan melepaskan
diri dari kuknya. [7]
V.
Perkembangan
peranan perempuan dalam masyarakat
Dalam masyarakat tradisional peranan perempuan ditentukan hanya untuk
melahirkan, melayani suami, dan melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap
kurang penting. Walaupun seorang perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi
namun masih kuat anggapan bahwa peranan perempuan itu adalah di dapur dan
mendidik anak-anak, karena itu adalah tugas utama kaum perempuan. Kini muncul
pertanyaan-pertanyaan yang menggugah asumsi-asumsi lama. Apakah harus pria yang
mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah? Tidak bolehkah terjadi pria
tinggal di rumah (karena tidak mendapatkan pekerjaan) dan perempuan yang
mencari nafkah? Apakah mendidik anak adalah tugas seorang wanita?
Adalah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan perubahan
peranan perempuan dan sikap terhadap kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan
tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin itu sudah tidak benar lagi. Kita
bisa melihat kenyataan bahwa banyaknya kaum perempuan menduduki fungsi pimpinan
di lembaga, perusahaan, dan negara. Orang berkuasa bukan karena fisiknya yang kuat,
melainkan karena kemampuan, intelektual dan fungsinya.[8]
VI. Keadilan dan kesetaraan gender
Harus kita sadari bahwa secara martabat, harkat dan hak azasi tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi secara kodrati tentu saja
ada perbedaannya. Ada
kemampuan yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Namun
demikian perbedaan itu bukan alasan untuk lebih mengutamakan harkat dan
martabat manusia berdasarkan perbedaan gender atau jenis kelamin.
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus merupakan suatu perjuangan
karena sampai saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan untuk
merealisasikannya. Misalnya hal itu datang dari kaum laki-laki pendukung
fanatic patriakhal. Mereka memakai teks-teks Alkitab bahwa laki-laki lebih
utama dari perempuan sesuai dengan kodrat kemanusiaan (band. Kej.2:21-22; 1
Kor.14:34-35. Gereja harus turut memperjuangkan kesetaraan gender, agar
panggilan untuk melayani sama-sama terbuka baik kepada perempuan maupun kepada
laki-laki. “Dalam hal ini tidak ada orang
Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kami semua adalah satu di dalam Kristus”
(Gal.3:28).[9]
VII. Teologi feminist
Gerakan feminisme terjadi pada bidang social dan politik yang dimulai
pada abad ke-15, sejak abad pencerahan di Perancis, adalah upaya menumbuhkan
kesetaraan gender, agar harkat dan martabat laki-laki dan perempuan tidak
dibeda-bedakanan. Fungsi dan peranan manusia dalam bidang ekonomi, social,
politik dan kehidupan keberagamaan tidak lagi ditentukan hanya oleh karena
berdasarkan laki-laki atau perempuan, tetapi karena seseorang itu berkualitas
dan mampu mengemban tugas secara fungsional.
Gerakan feminisme ini disambut baik dikalangan gereja dan teolog, sehingga
lahirlah teologi feminis yang merupakan teologi pembebasan. Para
teolog feminis memahami bahwa cerita-cerita Alkitab sangat tidak netral karena
berpihak pada sistem patriakhal yang justru mengakibatkan penindasan dan
pelecehan martabat perempuan. Ada
tiga teolog feminis yang melihat betapa pentingnya sumbangan teologi feminis
dalam penyetaraan dan keadilan gender.[10]
·
Phyllis Trible
Ia mengkritik dan menggugat cerita-cerita Alkitab khususnya PL karena
sebagian isinya merupakan “texts of
terror” bagi orang yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan harkat
kemanusiaan. Para penulis Alkitab seolah-olah
tidak berupaya untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang amoral. Pemerkosaan
dan pelecehan seksual terhadap perempuan dibenarkan dan diangkat sebagai cerita
untuk mengangkat keutamaan laki-laki (Kej.19:8; Hak.19; Ul.22:13-21; Ul.24:1-4).
Sementara laki-laki dilahirkan lebih kudus, lebih layak dan lebih berharga dari
pada perempuan (band. Im.15; 27:1-7). Menurut Trible cerita Alkitab tersebut
harus diluruskan melalui makna dan motif naratif dari Alkitab itu sendiri.
·
Elizabeth Schuessler Florenza
Dia mengangkat fakta bahwa orang-orang percaya kepada Yesus Kristus bukan
hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Peranan dan kesetiaan para perempuan
kepada Yesus tidak berada di bawah kesetiaan para murid laki-laki. Peranan dan
kesetiaan para perempuan digeser sedemikian rupa demi mengutamakan figur
laki-laki. Banyak kisah tentang peranan perempuan yang tidak diceritakan sesuai dengan maknanya
(Luk.8:1-3), mengingat jiwa androcentrik yang patriakhal yang turut
mempengaruhi mereka pada waktu itu.
·
Salie McFague
Menurut McFague dominasi dan sikap superior laki-laki terhadap perempuan
dimiliki oleh setiap suku bangsa, baik yang nomaden maupun yang modern,
sehingga muncul di dalam perumusan pemahaman keagamaan seperti pengakuan iman
dan pengenalan tentang Allah misalnya merumuskan hakekat Allah secara anthropomorfis. Menurut McFague tidak
ada salahnya menyebut Allah sebagai Bapa apabila sebutan tersebut dimaksudkan
untuk menjelaskan fungsi dan perbuatan Allah terhadap manusia. Kesalahan
pemahaman terjadi ketika sebutan Bapa itu dimaksudkan sebagai penjelasan
terhadap keberadaan Allah, sehingga Allah itu seolah laki-laki dan berjenis
kelamin. Dia mengusulkan agar sebutan Bapa diganti dengan sebutan netral,
misalnya God as mother; God as lover; God
as friend. Gagasan ini dapat diterima dengan alasan, pertama, gambar-gambar fungsional Allah dalam Alkitab bukan hanya
sebagai Bapa, Allah juga disebut seperti perempuan (Yes.42:14; Ul.32:18);
seperti ibu (Bil.11:11-13; Yes. 49:15); seperti bidan (Mzr.22:10; Yes.66:7-13).
Kedua, implikasi menggambarkan fungsi
Allah yang feminim dapat merealisasikan penyetaraan gender sekaligus
menghilangkan legitimasi doktrin dan institusi keagamaan terhadap perbedaan
gender yang diskriminatif.
VIII. Kesimpulan
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus menjadi suatu perjuangan karena
sampai sekarang ini masih menghadapi tantangan dan kesulitan untuk
merealisasikannya. Kesulitan melaksanakan keadilan dan kesetaraan gender datang
dari kaum pria dan masyarakat yang masih menganut sistem patriakal. Namun perlu
disadari pembedaan harkat dan martabat manusia berdasarkan gender bukanlah isi
firman Tuhan, melainkan muncul dari paham patriakal yang dianut oleh kelompok
masyarakat. Pada satu sisi status social dan harkat perempuan ditempatkan
setara dengan laki-laki. Tetapi pada sisi lain pria dan wanita dibedakan secara
gender.
Tafsir teologilah yang berhak memberi
jawaban mengapa Paulus meneruskan tradisi patriakal sehingga mengatakan “istri harus tunduk kepada suami sebagaimana
jemaat tunduk kepada Kristus” (Efesus 5:22-24) dan mengatakan bahwa “perempuan tidak diijikan mengajar dan
memerintah laki-laki” (2 Tim.2:12). Sementara itu haruslah pula dipahami
bahwa ungkapan “suami berkuasa atas istri”
adalah sebagai hukuman atas keberdosaan Hawa (Kej.3:26). Ketaatan kepada Kristus
dalah merupakan wujud kemurid-an dan kesetiaan kepadaNya, yang dengan
sendirinya akan menjadi berkat dan kebahagiaan bagi manusia. Pemahaman demikian
akan mewarnai kesetiaan istri dan suami secara timbal balik. Kesetaraan harkat
dan martabat manusia akan terwujud di dalam Kristus Yesus. Oleh karena itu
tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan pembeda-bedaan harkat dan
martabat kemanusiaan. Setiap pembedaan apalagi pelecehan martabat manusia baik
laki-laki maupun wanita adalah suatu pelanggaran terhadap ciptaan dan kehendak
Allah sendiri.
[1] John
Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta : YKBK/OMF, 2005),
hlm.333.
[2] Ibid,
hlm. 334
[3] John M.
Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : GRAMEDIA, 2000),
hlm. 265
[4] Henk Ten
Napel, Kamus Teologi Inggris-indonesia, (Jakarta : BPK-GM, 2006), hlm. 147
[5]
Pdt. Jahenos Saragih, Suara Hati Anak Bangsa dengan Solusinya, (Jakarta : Suara Gereja
Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2006), hlm. 107-117.
[6] John
Stott, Op.cit, hlm.334-335.
[7] Ibid,
hlm. 336.
[8] Pdt. Dr.
Einar M. Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, (Jakarta : BPK-GM, 2004), hlm. 77-80.
[9] Pdt.
D.Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA, 2007), hlm.
311-312.
[10] Ibid.,
hlm. 307-310.