Friday, March 3, 2017

Keadilan dan Kesetaraan Gender

Keadilan dan Kesetaraan Gender

I.             Pendahuluan
Dalam banyak kebudayaan, kaum wanita dianggap lebih rendah dan dihina oleh kaum pria. Mereka sering diperlakukan tidak lebih dari pada mainan dan objek seks, pengurus rumah tangga,dan tidak mampu diajak berdiskusi mengenai hal yang bersifat rasional. Bakat-bakat mereka tidak pernah dihargai, kebebasan mereka dibatasi sedang pelayanan mereka dibeberapa bidang tertentu ditolak dengan keras. [1]
Sejarah penindasan terhadap kaum wanita sudah berlangsung begitu lama sehingga dirasakan sudah tiba saatnya masyarakat yang didominasi oleh kaum pria itu harus mengoreksi dirinya, yaitu pertama, pentingnya mendengarkan secara cermat pada apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh feminisme. Kedua, mendengarkan dan meneliti secara cermat apa yang dikatakan oleh Alkitab. Karena dengan demikian kita terhindar dari bahaya, baik mengingkari Alkitab demi itikad untuk bisa berfikiran maju. [2]

II.          Terminologi
Gender adalah jenis kelamin.[3] Gender adalah pembedaan kata sesuai dengan kelaminnya.[4] Gender bersifat non-kodrati, tidak alami dan dibuat atau ditentukan oleh masyarakat.

III.       Kekerasan terhadap gender
Berbicara tentang kekerasan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Sejak permulaan manusia di bumi tindak kekerasan sudah ada. Hal ini dapat kita pahami sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (bnd. Kej. 3:1-24), manusia cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap sesamanya misalnya pembunuhan ynag dilakukan Kain terhadap adiknya Habel (kej.4:1-6). Berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam Perjanjian Lama terlihat ketimpangan gender yaitu apabila seorang istri tidak memuaskan suaminya maka si suami berhak menceraikan istrinya tersebut (Ul. 21:14-15). Hal yang sama , bandingkan tokoh Perjanjian Lama : Abraham, Salomo, Daud, Yakub, yaitu terjadinya perkawinan poligami, sedangkan bagi perempuan poliandri tidak diperkenankan.
Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan:
·         Faktor agama
      Adanya pendapat yang memahami bahwa  agama dan ajarannya adalah suci, tetapi karena manusia terbatas dalam pikiran dan perbuatan, maka muncullah penyimpangan-penyimpangan, ketimpangan tersebut menghasilkan tindakan-tindakan serta perlakuan yang tidak adil dalam masalah gender.
·         Faktor ekonomi
      Dalam kemajuan zaman banyak bentuk pengeksploitasian terhadap kaum perempuan,dimana tubuh wanita dijadikan objek manipulasi realitas, dan untuk membangkitkan gairah konsumen terhadap barang tertentu. Dalam masalah rumah tangga diman si suami menjadi tulang punggung perekonomian sering menjadi permasalahan bahwa dalam diri si suami merasa dirinya superior terhadap istrinya karena pekerjaan si suami tersebut menghasilkan upah untuk menghidupi keluarganya.
·         Faktor budaya
      Pada umumnya masyarakat Indonesia didominasi dengan sistem pattraikhatsehingga mengakibatkan adanya perbedaan hak dan peran laki-laki dan perempuansehingga banyak menimbulkan ketimpangan dan kekerasan terhadap kaum perempuan.           [5]

IV.       Bangkitnya gerakan feminis
Kita mengetahui rendahnya derajat kaum wanita dalam anggapan orang-orang pada zaman dahulu kala. Plato yang percaya bahwa jiwa terperangkap dalam tubuh dan kelepasannya dari tubuh hanya untuk terperangkap lagi dalam suatu reinkarnasi. Ia juga melanjutkan uraiannya bahwa nasib malang yang bisa menimpa laki-laki adalah apabila ia berinkarnasi sebagai wanita.Yosefus mengemukakan pendapatnya  bahwa wanita adalah inferior dalam segala hal dibandingkan pria. Tertulianus, seorang bapa gereja mengemukakan bahwa, wanita adalah pintu masuk iblis; wanita adalah perusak materai pohon (yang terlarang) itu; wanita adalah pelanggar utama hukum ilahi; wanita adalah pembujuk pria; wanita begitu gampang citra Allah yaitu pria. Akibat yang akan diterima adalah kematian, bahkan anak Allah pun harus menderita kematian.
Bahasa yang menjelek-jelekkan kedudukan wanita tersebut tidak layak keluar dari “pena” seorang pengikut Yesus, karena justru Dialah pangkal pembebasan wanita zaman ini.[6]
Setidaknya selama abad ini, kedudukan dan peranan wanita sudah mengalami perubahan yang sangat cepat. Mereka telah memperoleh hak memilih, berkat agitasi kaum “suffragette” (wanita-wanita pejuang bagi kesamaan hak suara) yang gigih. Wanita berhak memperoleh upah atas pekerjaan yang dilakukannya dan diperbolehkan untuk menempati setiap jabatan, profesi, dan kedudukan dalam pemerintahan.Gerakan feminisme mendapat momentum, khususnya pada tahun 60-an. Germaine Greer menyerukan suatu revolusi. Dalam bukunya “The Female Eunuch”, ada suatu bab yang berjudul “Mitos kelas menengah tentang cinta dan perkawinan”, di situ ia menyarankan agar wanita jangan terjebak dalam ikatan-ikatan yang ditetapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan bila terjebak dalam ikatan itu supaya jangan ragu-ragu untuk memutuskannya. Jika merasa tidak betah, kaum wanita adalah proletariat asli mayoritas yang benar-benar ditindas; mereka harus berontak dan melepaskan diri dari kuknya. [7]

V.          Perkembangan peranan perempuan dalam masyarakat
Dalam masyarakat tradisional peranan perempuan ditentukan hanya untuk melahirkan, melayani suami, dan melakukan berbagai pekerjaan yang dianggap kurang penting. Walaupun seorang perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi namun masih kuat anggapan bahwa peranan perempuan itu adalah di dapur dan mendidik anak-anak, karena itu adalah tugas utama kaum perempuan. Kini muncul pertanyaan-pertanyaan yang menggugah asumsi-asumsi lama. Apakah harus pria yang mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah? Tidak bolehkah terjadi pria tinggal di rumah (karena tidak mendapatkan pekerjaan) dan perempuan yang mencari nafkah? Apakah mendidik anak adalah tugas seorang wanita?
Adalah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan perubahan peranan perempuan dan sikap terhadap kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin itu sudah tidak benar lagi. Kita bisa melihat kenyataan bahwa banyaknya kaum perempuan menduduki fungsi pimpinan di lembaga, perusahaan, dan negara. Orang berkuasa bukan karena fisiknya yang kuat, melainkan karena kemampuan, intelektual dan fungsinya.[8]

VI.       Keadilan dan kesetaraan gender
Harus kita sadari bahwa secara martabat, harkat dan hak azasi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan tetapi secara kodrati tentu saja ada perbedaannya. Ada kemampuan yang dimiliki perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Namun demikian perbedaan itu bukan alasan untuk lebih mengutamakan harkat dan martabat manusia berdasarkan perbedaan gender atau jenis kelamin.
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus merupakan suatu perjuangan karena sampai saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan untuk merealisasikannya. Misalnya hal itu datang dari kaum laki-laki pendukung fanatic patriakhal. Mereka memakai teks-teks Alkitab bahwa laki-laki lebih utama dari perempuan sesuai dengan kodrat kemanusiaan (band. Kej.2:21-22; 1 Kor.14:34-35. Gereja harus turut memperjuangkan kesetaraan gender, agar panggilan untuk melayani sama-sama terbuka baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kami semua adalah satu di dalam Kristus” (Gal.3:28).[9]

VII.    Teologi feminist
Gerakan feminisme terjadi pada bidang social dan politik yang dimulai pada abad ke-15, sejak abad pencerahan di Perancis, adalah upaya menumbuhkan kesetaraan gender, agar harkat dan martabat laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakanan. Fungsi dan peranan manusia dalam bidang ekonomi, social, politik dan kehidupan keberagamaan tidak lagi ditentukan hanya oleh karena berdasarkan laki-laki atau perempuan, tetapi karena seseorang itu berkualitas dan mampu mengemban tugas secara fungsional.
Gerakan feminisme ini disambut baik dikalangan gereja dan teolog, sehingga lahirlah teologi feminis yang merupakan teologi pembebasan. Para teolog feminis memahami bahwa cerita-cerita Alkitab sangat tidak netral karena berpihak pada sistem patriakhal yang justru mengakibatkan penindasan dan pelecehan martabat perempuan. Ada tiga teolog feminis yang melihat betapa pentingnya sumbangan teologi feminis dalam penyetaraan dan keadilan gender.[10]
·         Phyllis Trible
Ia mengkritik dan menggugat cerita-cerita Alkitab khususnya PL karena sebagian isinya merupakan “texts of terror” bagi orang yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan harkat kemanusiaan. Para penulis Alkitab seolah-olah tidak berupaya untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang amoral. Pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dibenarkan dan diangkat sebagai cerita untuk mengangkat keutamaan laki-laki (Kej.19:8; Hak.19; Ul.22:13-21; Ul.24:1-4). Sementara laki-laki dilahirkan lebih kudus, lebih layak dan lebih berharga dari pada perempuan (band. Im.15; 27:1-7). Menurut Trible cerita Alkitab tersebut harus diluruskan melalui makna dan motif naratif dari Alkitab itu sendiri.
·         Elizabeth Schuessler Florenza
Dia mengangkat fakta bahwa orang-orang percaya kepada Yesus Kristus bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Peranan dan kesetiaan para perempuan kepada Yesus tidak berada di bawah kesetiaan para murid laki-laki. Peranan dan kesetiaan para perempuan digeser sedemikian rupa demi mengutamakan figur laki-laki. Banyak kisah tentang peranan perempuan  yang tidak diceritakan sesuai dengan maknanya (Luk.8:1-3), mengingat jiwa androcentrik yang patriakhal yang turut mempengaruhi mereka pada waktu itu.
·         Salie McFague
Menurut McFague dominasi dan sikap superior laki-laki terhadap perempuan dimiliki oleh setiap suku bangsa, baik yang nomaden maupun yang modern, sehingga muncul di dalam perumusan pemahaman keagamaan seperti pengakuan iman dan pengenalan tentang Allah misalnya merumuskan hakekat Allah secara anthropomorfis. Menurut McFague tidak ada salahnya menyebut Allah sebagai Bapa apabila sebutan tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi dan perbuatan Allah terhadap manusia. Kesalahan pemahaman terjadi ketika sebutan Bapa itu dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap keberadaan Allah, sehingga Allah itu seolah laki-laki dan berjenis kelamin. Dia mengusulkan agar sebutan Bapa diganti dengan sebutan netral, misalnya God as mother; God as lover; God as friend. Gagasan ini dapat diterima dengan alasan, pertama, gambar-gambar fungsional Allah dalam Alkitab bukan hanya sebagai Bapa, Allah juga disebut seperti perempuan (Yes.42:14; Ul.32:18); seperti ibu (Bil.11:11-13; Yes. 49:15); seperti bidan (Mzr.22:10; Yes.66:7-13). Kedua, implikasi menggambarkan fungsi Allah yang feminim dapat merealisasikan penyetaraan gender sekaligus menghilangkan legitimasi doktrin dan institusi keagamaan terhadap perbedaan gender yang diskriminatif.

VIII. Kesimpulan
Kesetaraan dan keadilan gender akan terus menjadi suatu perjuangan karena sampai sekarang ini masih menghadapi tantangan dan kesulitan untuk merealisasikannya. Kesulitan melaksanakan keadilan dan kesetaraan gender datang dari kaum pria dan masyarakat yang masih menganut sistem patriakal. Namun perlu disadari pembedaan harkat dan martabat manusia berdasarkan gender bukanlah isi firman Tuhan, melainkan muncul dari paham patriakal yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada satu sisi status social dan harkat perempuan ditempatkan setara dengan laki-laki. Tetapi pada sisi lain pria dan wanita dibedakan secara gender.
Tafsir teologilah yang berhak memberi jawaban mengapa Paulus meneruskan tradisi patriakal sehingga mengatakan “istri harus tunduk kepada suami sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus” (Efesus 5:22-24) dan mengatakan bahwa “perempuan tidak diijikan mengajar dan memerintah laki-laki” (2 Tim.2:12). Sementara itu haruslah pula dipahami bahwa ungkapan “suami berkuasa atas istri” adalah sebagai hukuman atas keberdosaan Hawa (Kej.3:26). Ketaatan kepada Kristus dalah merupakan wujud kemurid-an dan kesetiaan kepadaNya, yang dengan sendirinya akan menjadi berkat dan kebahagiaan bagi manusia. Pemahaman demikian akan mewarnai kesetiaan istri dan suami secara timbal balik. Kesetaraan harkat dan martabat manusia akan terwujud di dalam Kristus Yesus. Oleh karena itu tidak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan pembeda-bedaan harkat dan martabat kemanusiaan. Setiap pembedaan apalagi pelecehan martabat manusia baik laki-laki maupun wanita adalah suatu pelanggaran terhadap ciptaan dan kehendak Allah sendiri.



[1] John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: YKBK/OMF, 2005), hlm.333.
[2] Ibid, hlm. 334
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: GRAMEDIA, 2000), hlm. 265
[4] Henk Ten Napel, Kamus Teologi Inggris-indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 147
[5] Pdt. Jahenos Saragih, Suara Hati Anak Bangsa dengan Solusinya, (Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2006), hlm. 107-117.
[6] John Stott, Op.cit,  hlm.334-335.
[7] Ibid, hlm. 336.
[8] Pdt. Dr. Einar M. Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 77-80.
[9] Pdt. D.Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA, 2007), hlm. 311-312.
[10] Ibid., hlm. 307-310.

Allah Berkuasa atas Orang Beriman (Ayub 2: 10; 2 Kor. 1: 4-5).

Allah Berkuasa atas Orang Beriman
(Ayub 2: 10; 2 Kor. 1: 4-5).

            I.      Pendahuluan
Pada saat ini, banyak sekali kita melihat bahkan merasakan penderitaan dalam hidup ini. Adapun yang menjadi penyebab dari penderitaan ini adalah karena ekonomi, sosial, politik dan yang lainnya. Penderitaan ini pun beraneka ragam seperti kesusahan hidup, tekanan perasaan, penyakit ataupun ketertinggalan perkembangan zaman dan yang lain. Dan dengan penderitaan ini, banyak sekali di antara kita yang sering menyalahkan Tuhan sebagai penyebab semuanya, yang sebenarnya adalah salah sebab Allah telah memilih dan menetapkan jalan yang terbaik bagi hidup kita dan segala sesuatunya akan indah pada waktunya.
Namun, kita sering ‘kalah’ terhadap penderitaan ini sehingga kita hanya dapat menyimpulkan sisi buruk dari penderitaan yang kita alami itu dan tidak dapat memiliki harapan akan hari esok. Dan pada akhirnya menyalahkan Allah atas penderitaan yang kita alami tersebut.
Dan dalam sajian ini, penyaji mencoba membahas mengenai bagaimana Allah berkuasa atas hidup orang-orang pilihanNya dan sikap dari umatNya dalam menjalani apa yang menjadi Kemahakuasaan Allah. Dalam sajian ini, penyaji akan memfokuskan dua tokoh dalam Alkitab yang dengan sabar menghadapi penderitaan yang diberikan Allah kepada mereka, yang pada intinya adalah bahwa Allah dengan kemuliaanNya tidak dapat diselami oleh manusia dan berkuasa atas segalanya yaitu:
1). Ayub yang terkenal dengan kekayaannya baik materi maupun iman, dan keteguhan dalam penderitaan, dan
 2). Paulus yang terkenal semula adalah seorang pembunuh pengikut Kristus yang kemudian bertobat dan menjadi pelayan Firman kepada banyak umat yaitu orang Kafir (non Yahudi).

         II.      Kitab Ayub
Latar Belakang Kitab Ayub
Kitab Ayub adalah salah satu kitab sastra hikmat yang menuturkan suatu masalah yang sangat pelik yaitu seorang tokoh yang kaya dalam hal materi maupun iman di tengah-tengah masyarakatnya kemudian tiba-tiba jatuh miskin, sakit dan dijauhi oleh masyarakatnya oleh karena keteguhan hatinya dalam menjalani penderitaan yang sangat berat, tidak masuk akal dan mungkin tak bisa dilewati oleh siapapun jika telah mengalami penderitaan seberat itu.
Menurut para ahli, Kitab Ayub ini adalah suatu prosa kuno dari bagian syair yang kemudian menjadi syair yang sangat indah.[1] Ayub adalah secara dramatis tentang seorang yang baik dimana ia kehilangan segalanya dan diuji dengan keras untuk menemukan Allah dalam penderitaannya. Kitab Ayub diperkirakan ditulis setelah masa pembuangan di Babilonia.[2]
Selain itu, nama Ayub (Ibr. Iyyob) yang ditafsirkan oleh Albright sebagai “Dimanakah Bapa (ku)?”, terdapat dalam surat-surat Amarna (kira-kira 1350 sM) dan dalam naskah-naskah kutukan dari Mesir (kira-kira 2000 sM). Dengan kedua alasan ini, Kitab Ayub diperkirakan dicatat oleh seseorang yang benar-benar hidup pada zaman kuno. Namun tidak diketahui apakah cerita itu berdasarkan dengan sejarah yang benar-benar terjadi pada zaman itu atau tidak.[3]
Menurut John Drane, Kitab Ayub terbagi lagi menjadi lima bagian besar, yaitu:
1.      Ayub diuji oleh Iblis dengan didatangkannya bencana (psl. 1-2),
2.      Pembicaraan antara Ayub dan ketiga sahabatnya (psl 3-31),
·         Keluh kesah Ayub pada Allah (psl.3)
·         Pertanyaan Ayub kepada Allah (4-14)
·         Dapatkah orang jahat akan makmur? (psl. 15-21)
·         Ayub disalahkan oleh sahabat-sahabatnya, menuntut ketidakbersalahan Ayub di hadapan Allah.
3.      Pernyataan Elihu yang salah dengan menyangkal bahwa Allah tidak peduli (psl 32-37),
4.      Kebaikan Allah yang memulihkan (psl 38:1-42:6),
·         Allah dalam penciptaan (psl. 38-41)
·         Respon Ayub (psl. 42:1-6)
5.      Ayub kembali diberkati Allah (psl. 42:7-16).
Dengan kata lain, Kitab Ayub ini adalah sebuah kitab pengajaran hikmat dalam menjalani penderitaan dan berkat Allah setelah menjalani penderitaan itu. Selain itu, kitab ini juga diperkirakan berasal dari aliran Deutronomist karena kitab ini menekankan ketaatan kepada Allah.[4]
Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik
Kitab Ayub dimulai dari peristiwa yang terjadi di bumi yaitu di Tanah Us (namun tidak diketahui dimana letaknya) (psl. 1:1-5). Pikiran modern cenderung menganggapnya di perbatasan Edom, dengan alasan beberapa petunjuk dalam kitab itu dianggap berhubungan dengan Edom; tapi tradisi yang menempatkannya di Haran (Basan), jauh lebih mungkin.[5]
Pada kitab ini, memfokuskan seorang tokoh yang amat sangat kaya pada zamannya, ayah dari tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan yang sebenarnya menggambarkan kesempurnaan. Dalam tradisi Ibrani, kemakmuran biasanya dianggap pertanda dari berkat Allah. Pada kitab Ulangan 28 digambarkan berkat-berkat bagi orang yang menaati Allah, dan berbagai kutukan akibat ketidaktaatan. Ayub juga seorang tokoh yang baik dan saleh, baik di tengah-tengah masyarakatnya maupun keluarganya yang dapat kita lihat dengan Ayub sebagai imam keluarga, mempersembahkan korban bakaran untuk menjaga kekudusan keluarganya di hadapan Allah.[6] Namun, Ayub tidak menganggap bahwa segala harta dan segala apa yang dimilikinya adalah hanya berkat Allah dan bukan sebagai segala-galanya dalam kehidupannya yang akan membuat dia jauh dari Allah.[7]
Ayub juga adalah seorang tokoh yang memiliki kedudukan terhormat di tengah masyarakatnya karena ia memiliki kedudukan di tengah-tengah orang berhikmat di zamannya dan begitu juga dengan ketiga sahabatnya yaitu Elifas, Zofar, Bildad dan tak lupa Elihu.[8]

Teologi Kitab Ayub
Kitab Ayub memang adalah satu dari kitab yang berisikan pengajaran hikmat yang menekankan bagaimana menjalani penderitaan hidup. Penderitaan hidup ini dimulai dengan adanya pembicaraan antara si Iblis kepada Allah untuk mencoba mencari kesalahan sekecilpun dari Ayub yang telah mendapatkan kepercayaan yang penuh dari Allah oleh karena iman dan kesalehannya.
Walaupun demikian, penderitaan yang menimpa baik jasmani maupun rohani kepada Ayub, Ayub tetap saja teguh dan bertekun dalam penderitaannya tersebut walaupun kadang kala Ayub sering mempertanyakan protes kepada Allah mengenai penderitaan yang diberikan kepadanya begitu berat.[9]
Walaupun demikian, Ayub tidak terlalu memikirkan mengenai penderitaan badani yang menimpanya, sedangkan yang menjadi masalah baginya adalah ketika ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari keluarga, teman-teman sekota, oleh masyarakat, dan akhirnya oleh teman-temannya sendiri, dimana ia sendiri mengalami goyangan iman dan keteguhan kepada Allah. Dan oleh karena itu, ia dianggap bahwa ia telah ditinggalkan oleh Allah. Dengan demikian, yang menjadi dasar masalahnya yang teologis adalah “Mengapa Allah Tidak Bertindak” sesuai dengan teori dan pengalaman manusia terdahulu?.[10]
Dengan kata lain, yang menjadi Teologi Kitab Ayub adalah bahwa Allah dalam kemahakuasaanNya tidak dapat terselami dan diduga oleh siapapun walaupun orang itu adalah orang yang beriman, saleh ataupun taat kepada Allah.

Tafsiran Kitab Ayub 2: 10.
Ayat 10:
Di dalam ayat 10, Ayub menjawab pertanyaan istrinya yang mencobainya dengan mengatakan bahwa “Apakah kita hanya bisa menerima yang baik saja dari Allah dan apakah kita tidak bisa menerima yang buruk?”.[11] Kata אלהם dalam Perjanjian Lama berasal dari sebutan el yang berarti kekuatan atau tenaga dan juga digunakan pada manusia dan kata Elohim adalah bentuk jamak dari kata el. Kata Elohim mengarahkan perhatian bahwa Allah dalam kepenuhanNya tidak akan pernah habis. Dalam Alkitab, tidak pernah membicarakan keberadaan Allah terlepas dari sifat-sifatNya, karena Allah adalah Apa yang Ia sendiri nyatakan tentang diriNya.[12]
Allah memiliki salah satu sifat yaitu Dia adalah yang “Mahakuasa”, artinya adalah bahwa Dia adalah sesuatu yang berbeda dari kuasa yang ada pada manusia. Bagi Allah, Kemahakuasaan itu adalah suatu sifatNya yang memiliki daya cipta, suatu ‘daya kemampuan’, dan menciptakan segenap karya ciptaan yang ada dari yang tiada. Dan dalam ihwalNya, sifatNya tetap berdaya rasuk, tidak terbatas dan tak terhingga bagi siapapun dan apapun, termasuk Ayub sendiri.[13]
Dalam kitab Ayub ini dikatakan bahwa Ayub adalah seseorang yang tak bersalah, bercela maupun munafik, melainkan dia adalah seorang yang takut dan taat akan Allah. Namun, oleh karena adanya pembicaraan antara Iblis kepada Allah untuk mencobai keteguhan iman dari Ayub, Iblis meminta izin kepada Allah agar dapat menguji iman Ayub tersebut walaupun sebenarnya Iblis sudah mengetahui bahwa Ayub tidak bersalah sedikitpun.[14]
Setelah pembicaraan itu, lalu Iblis segera menguji iman dan kesalehan Ayub kepada Allah dengan mendatangkan berbagai bencana yaitu kehilangan ternak dan anak-anaknya (1: 14-19) serta penyakit kulit (2: 4-8) dan yang paling berat adalah olokan atau celaan kepada Ayub oleh keluarganya, masyarakatnya, dan sahabat-sahabat dekatnya, dimana sangat berpengaruh iman Ayub kepada Allah.
Namun, yang paling berat adalah celaan dari isterinya sendiri yaitu “Masih bertekunkanh engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9). Hal ini didasarkan bahwa isterinya menganggap bahwa Allah tidak adil pada umatNya dengan menjadikan Ayub tiba-tiba jatuh miskin, kehilangan anak dan penyakit badani yang tak dapat disembuhkan serta sekarat.[15]
Namun Ayub membela Allah dan bertekun dalam imannya dengan memperingatkan perkataan dari isterinya untuk mengutuki Allah, dengan menjawab, ‘Apakah kita hanya bisa menerima apa yang baik saja dari Allah sedangkan yang buruk tidak’. Ayub memaklumi bahwa cacian isterinya itu adalah yang berdasarkan sesuai yang terjadi pada keluarga mereka dimana isterinya beranggapan bahwa hanya Allah yang melakukan hal itu kepada mereka. Bagi Ayub, mengutuki Allah adalah suatu perbuatan dosa di hadapan KemahakuasaanNya. Dengan peringatan dari Ayub ini, Ayub digambarkan sebagai seseorang yang pasrah, tekun dan beriman kepada Allah terhadap segala apa yang terjadi atas dirinya.
Walaupun dia sebagai seseorang yang pasrah, tekun dan beriman kepada Allah, Ayub juga disebutkan sebagai bukan seorang yang pasrah, tekun dan beriman sepenuhnya kepada Allah dimana ia menyatakan keluh kesahnya dan permintaannya agar mati saja (3:1-26), bahkan protesnya kepada Allah akibat mendengar perkataan sahabatnya, Bildad mengenai kebinasaan orang fasik.[16] Namun, yang menjadi inti dari ayat 10 ini adalah bahwa Ayub mengakui bahwa hanya Allah saja yang memiliki dan memberikan hikmat dan keteguhan kepadanya dalam menjalani penderitaannya.

     III.      Kitab 2 Korintus
Latar Belakang Kitab 2 Korintus
Surat 2 Korintus adalah bagian dari surat-menyurat Paulus dengan orang-orang Kristen di Korintus yang berhasil dilestarikan. Bahkan tanpa pengetahuan yang pasti tentang rangkaian peristiwa-peristiwannya tentang kunjungan, pesan-pesan dan surat-suratnya, kita mengetahui bahwa surat 2 Korintus bukanlah surat kedua yang ditulis Paulus kepada jemaat Korintus. Dan tanpa rekonstruksi historis apapun surat ini memberikan kita pemahaman-pemahaman yang mendalam tentang pemikiran rasul tersebut. Surat 2 Korintus juga adalah pernyataan klasik dalam Perjanjian Baru mengenai kerasulan. Disinilah, dimana kemanusiaan Paulus tampak menonjol, tuntutan-tuntutan akan membawa kewibawaan ilahi paling jelas disuarakan.[17]
Oleh karena surat ini jelas ditulis di Makedonia, dimana Paulus bertemu dengan Titus (2:13). Karena orang Makedonia diberitahu bahwa orang Korintus telah siap dengan sumbangan mereka untuk Yerusalem ‘setahun yang lalu’ (8:10; 9:2) dan karena setelah 3 bulan di Akhaya, Paulus meninggalkan Makedonia paling lambat menjelang April (bnd. Kis 20:3, 6), dan dapat disimpulkan bahwa Surat 2 Korintus ini ditulis pada musim gugur dari tahun setelah tahun dimana 1 Korintus ditulis.[18]
Adapun yang menjadi kerangka dari Surat 2 Korintus ini adalah sebagai berikut:[19]
Tema : Pelayanan yang dimateraikan oleh Kristus, adalah kuasa illahi yang bekerja dalam kelemahan manusiawi.
Pengantar : Paulus dan Timotius mengirimkan salam kepada orang-orang kudus di Akhaya. Terpujilah Allah! Ia selalui menghibur kita sehingga kita dapat menghibur orang lain (1:1-11),
1.      Menyembuhkan kepedihan dari masa lalu (psl. 1:12-2:13),
2.      Kesanggupan dan keyakinan akan pelayanan rasuli (psl. 2:14-5:21),
3.      Persekutuan dengan Paulus : Imbauan dan Penegasan (psl. 6:1-7:16),
4.      Pengumpulan Persembahan untuk Yerusalem (psl. 8:1-9:15),
5.      Pembelaan Paulus akan kewibawaan Kerasulannya (psl. 10:1-13:10), dan
6.      Kesimpulan (psl. 13:11-13).
Akan tetapi yang menjadi tujuan Paulus mengirimkan Surat 2 Korintus ini adalah membela kerasulannya, dan mengadakan pengumpulan persembahan untuk pembangunan Bait Suci di Yerusalem.
Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik
Korintus adalah salah satu kota di Yunani yaitu terkenal sebagai kota pelabuhan, kota industri dan pusat perdagangan yaitu berada di ujung barat Isthmus yakni antara Yunani pusat dan Peloponesus dan melintasi Isthmus. Kemudian oleh Kaisar Agustus menjadikannya ibukota provinsi baru, yaitu Akhaya.[20] Pada masa ini, terjadi huru hara di kota akibat Demetrius sehingga mengancam diri Paulus dan memaksa Paulus untuk bersembunyi di Troas.
Setelah itu, untuk memantau perkembangan situasi Kota Korintus, maka Paulus mengutus Titus namun Titus tidak datang untuk memberikan laporan perkembangan, dan hal inilah yang menjadikan Paulus menjadi kecewa, kuatir dan tubuhnya sakit. Dan hal inilah yang membuat seakan-akan Paulus merasa tidak kuat menahan segala ketegangan dan kecemasan itu.[21]
Dan karena Paulus hampir tidak tahan lagi menanggung kecemasan hatinya di Troas, lalu ia berangkat ke Makedonia untuk menjumpai Titus di sana yang kemudian Paulus mendapatkan kabar penghiburan dari Titus dimana orang-orang Korintus telah melakukan perintahnya dalam surat pertamanya kepada masyarakat Korintus. Walaupun pada akhirnya Paulus mengetahui bahwa Paulus telah diserang oleh pesuruh-pesuruh Yahudi dengan menghina kerasulannya, ketakutan, kebimbangan dan ketidaksungguhan Paulus dalam memberitakan Firman Allah.[22]

Tafsiran 2 Korintus 1: 4-5
Ayat 4-5
Dalam Perjanjian Baru, sebutan Allah dipakai dalam pengertian yang khas dan sangat pribadi yaitu Kristus (kurios). Akan tetapi ada hubungan yang unik dan tidak dapat dibagikan kepada makhluk apapun dimana Allah adalah BapaNya melalui kelahiranNya yang kekal. Dalam sifatNya juga ada suatu sifat bahwa Allah tidak berubah, artinya adalah bahwa Ia tidak memiliki perubahan apapun juga dalam diriNya dalam kesempurnaanNya.[23]
Di ayat 4 dan 5 ini dikatakan bahwa Paulus mengalami tantangan yang sangat berat yaitu tuduhan mengenai kerasulannya oleh pesuruh-pesuruh Yahudi yang membuat dia menderita. Namun, dalam penderitaannya Paulus mendapat penghiburan dari Allah. Di dalam bagian ayat ini, Paulus juga menguraikan penderitaan sebagai ikut mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Allah. Kesengsaraan Kristus baginya adalah sesuatu yang unik.[24]
Pada saat pertobatannya, ia telah diperingatkan akan penderitaan yang akan menghampiri dia dalam memberitakan Firman Tuhan bagi orang-orang kafir (Kis. 9:15, 16; Kol. 1:24). Penderitaan yang dimaksud hanyalah disebabkan oleh persekutuan orang Kristen di Korintus dengan Kristus dan bukan penderitaan yang dikarenakan oleh dosanya sendiri. Persekutuan yang sama itu menerangkan sebabnya kita dapat turut juga menerima penghiburan-penghiburan yang melimpah.[25]
Dalam ayat ini juga, Paulus memuji dan bersyukur kepada Allah atas berkatNya yang berlimpah-limpah sehingga Paulus dimampukan untuk kembali mempertahankan kerasulannya dan memberitakan kabar sukacita kepada jemaat Korintus setelah masa Guru-guru Palsu, yaitu yang merupakan pesuruh-pesuruh Yahudi untuk menjelek-jelekkan kerasulan dan keberaniannya dalam menghadapi bahaya-bahaya dari melakukan pemberitaan Firman Tuhan. Penderitaan yang dikatakan dalam ayat ini adalah penderitaan Paulus dalam bentuk fisik maupun mental sehingga ia mengetahui dan menyadari bahwa ia tidak dapat berdiri sendiri dan bertahan tanpa adanya penghiburan dari Allah yaitu penderitaan Kristus yang memiliki unsur kekudusan untuk menebus dosa semua umat manusia yang percaya padaNya.[26] Dengan demikian, ayat ini menekankan perlunya kesatuan antar jemaat dalam menghadapi penderitaan dalam melaksanakan persekutuan dengan Allah.

     IV.      Refleksi Teologis
Penderitaan merupakan teman pergumulan setia setiap orang dan hal ini membutuhkan sikap yang tepat untuk menghadapinya. Dalam menyingkapi misteri ini, kita perlu bercermin kepada tokoh-tokoh dalam Alkitab yang sukses memaknai penderitaannya, diantaranya :
         Ayub yang dikenal sebagai orang benar, jujur dan takut akan Allah dan menjauhi segala kejahatan (Ayb. 1:1-3), dimana Allah sendiri memuji ketaatannya itu. Namun oleh karena adanya pembicaraan antara Iblis kepada Allah, maka Allah mengizinkan Iblis untuk menguji kesalehan iman Ayub sendiri kepadaNya. Namun dalam penderitaannya, Ayub tidak mengutuk Allah bahkan malah ia memuliakan Allah oleh karena bagi dirinya Allah berkuasa terhadap apapun dan siapapun tanpa dapat diselami oleh seseorang pun. Hanya Allah saja yang memiliki dan memberikan hikmat kepadanya dalam menjalani penderitaannya tersebut.
         Paulus yang dikenal sebagai pembunuh umat Kristen yang sangat keji yang kemudian bertobat dan menjadi rasul bagi orang kafir (orang non Yahudi). Paulus mengakui bahwa di dalam segala kehidupannya, Allah turut serta memapah, mendukung, dan memberkati Paulus dalam menunaikan misinya yaitu Kabar Keselamatan bagi setiap orang. Dia mengakui bahwa dia tidak akan ada apa-apanya tanpa penyertaan Tuhan demikian juga ketika ia mengalami penderitaan dimana ia dikatakan mendapatkan penghiburan dari penderitaan-penderitaan Kristus.
         Dan bagaimanakah dengan kita, ketika kita sedang mendapat penderitaan dengan tiba-tiba? Apakah kita bisa seperti Ayub atau Paulus yang sabar dan bertekun dalam penderitaan atau kita menyerah dan menyalahkan Tuhan atas segala apa yang terjadi atas kita? Inilah kiranya menjadi renungan kita, ketika kita mungkin mendapat ataupun melewati penderitaan pada masa kini.

         V.      Kesimpulan
Kehidupan setiap orang memiliki variasi tersendiri yang khas dengan orang lain. Kehidupan dapat berbentuk kebahagiaan, kekayaan, kemiskinan maupun kesedihan. Terlebih jika kita mendapatkan kesedihan berupa penderitaan fisik maupun rohani, kita seringkali menyalahkan Tuhan yang sebenarnya belum tentu adalah kehendak Tuhan itu sendiri. Seperti halnya dari gambaran penderitaan dari dua tokoh Alkitab dalam menghadapi dan menjalani penderitaan, dapat kita disimpulkan bahwa segala kehidupan baik bahagia, sedih, kaya, miskin dan yang lain adalah hanya inisiatif Allah yang berkuasa atas apapun dan siapapun dan tidak dapat ditolak dengan cara apapun yang bersifat “Misteri” dan “Rahasia”.
Memang hanya Allah sajalah yang memiliki kuasa dan berkuasa atas kita dalam segala bentuk warna-warni kehidupan kita. Namun, hendaknya kita jangan berpikir pendek jika kita mengalami penderitaan dengan menganggap bahwa “Allah telah meninggalkan kita”, “Allah penyebab semua penderitaan”, atau “Allah membiarkan kita larut dalam penderitaan” dan yang lain-lain. Dan hal itu, mungkin pernah kita lakukan, yang sama artinya adalah menyangkal Kehendak Allah itu sendiri atas hidup kita. Yang perlu kita tanamkan dari gambaran di atas adalah bagaimana cara atau sikap kita yang baik dan berkenan di hati Allah ketika kita mendapatkan dan menjalani suatu penderitaan itu.




[1]  J.D. Douglas (penyunting), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini : Jilid I (A-L), (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004). Hlm. 114.
[2]  John Drane (ed), Nelson’s Illustrated Encyclopedia of The Bible, (Oxford : Lion Publishing, 1998). Hlm 218.
[3]  W.S. Lasor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2, Lisda Tirtapraja & Lily W. Tjiputra (penerjemah), (Jakarta : BPK-GM, 2007). Hlm. 107.
[4] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 3, (Jakarta : BPK-GM, 2005). Hlm. 49-50.
[5] Op.Citt., J.D. Douglas. Hlm. 113.
[6] David Atkinson, Ayub  Dalam Kasih Allah : Rahasia Penderitaan, Tujuan dan Kekuatannya ditemukan, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006). Hlm 19-20.
[7] C. Bijl, Ayub Sang Konglomerat, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004). Hlm. 9-10.
[8] Op. Citt., J. D.Douglas. Hlm. 113-114.
[9] Op. Citt., C. Bijl. Hlm. 19-20.
[10] Op. Citt., J.D. Douglas. Hlm. 114.
[11] Anthony dan Miriam Hanson, The Book of Job, (London : SCM Press Ltd., 1962). Hlm. 39.
[12] Ibid., RAF/JMP. Hlm. 33.
[13] Ibid., Hlm. 34.
[14] Op. Citt., C. Bijl. Hlm.15-17.
[15] Op. Citt., D. Atkinson. Hlm. 33.
[16] Op. Citt., Hlm. 50.
[17] V.C.Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan, Stephen Suleeman (terj), (Jakarta : BPK-GM, 2007). Hlm.1-2
[18] Op. Citt., J. D. Douglas. Hlm. 587.
[19] Op. Citt., V.C.Pfitzner. Hlm.13-17.
[20] Ibid., Hlm. 582.
[21] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1988). Hlm. 72-73.
[22] Dr. T. Jacobs, Paulus : Hidup, Karya dan Teologinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1983). Hlm. 78-79.
[23] Op. Citt., J. D. Douglas. Hlm. 34-35.
[24]                             , Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 (Mat.-Why), (Jakarta : BPK-GM, 1983). Hlm. 539.
[25] Ibid., hlm. 539.
[26] Op. Citt., V.C. Pfitzner. Hlm. 21-23